REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Cihuni Mas mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) atas sengketa tanah di Situ Cihuni, Tangerang seluas 32,34 hektare. PK tersebut diajukan atas PK yang dimohonkan Direktur Jenderal Sumber Daya Air (Dirjen SDA) Kementerian PUPR.
PT Cihuni Mas memandang perlu mengajukan PK karena adanya putusan yang bertentangan. PT Cihuni Mas pun meyakini adanya alat bukti baru yang belum pernah menjadi alat bukti di sidang sebelumnya.
"Kami telah mengajukan PK kedua yang telah diterima permohonan dan memori PK-nya pada PN Tangerang tertanggal 27 Juni 2023," kata kuasa hukum PT Cihuni Mas, Ali Oksy Murbiantoro dalam keterangannya pada Jumat (21/7/2023).
Ali keberatan dengan langkah Kementerian PUPR yang memasang plang di Situ Cihuni lantaran masih menjadi sengketa. Terlebih, PT Cihuni Mas mempunyai novum yang dinilai meyakinkan hakim PK soal kepemilikan tanah di Situ Cihuni.
"Ada lima novum yang kami sampaikan untuk meyakinkan hakim PK bahwa PT Cihuni Mas merupakan pemilik sah tanah di Situ Cihuni seluas 32,34 hektare," ujar Ali.
Ali menjelaskan sengketa tanah Situ Cihuni Tangerang yang sudah lama berjalan. PT Cihuni Mas sempat menang di 2 pengadilan yaitu Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada 27 November 2018 dan Pengadilan Tinggi (PT) Banten pada 12 Juli 2019.
PN Tangerang sudah memutuskan dengan tegas beberapa hal. Pertama Dirjen SDA Kementerian PUPR dan Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang yang menjadi tergugat, terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Kedua, hakim PN Tangerang menyatakan PT Cihuni Mas merupakan pemilik sah atas sebidang tanah yang terletak di Desa Cihuni, Kecamatan Pagedangan Legok, Kabupaten Tangerang atau dikenal dengan Situ Cihuni seluas 32,34 hektare. Adapun batas-batas tanah tersebut adalah sebelah utara adalah Jalan Desa; sebelah Timur adalah Komp. Perumahan Gading serpong; sebelah Selatan adalah Komp. Perumahan Gading Serpong; dan sebelah Barat adalah Komp. Perumahan Gading Serpong.
Ketiga, hakim menyatakan bahwa PT Cihuni Mas merupakan pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan peningkatan status hak atas lahan tanah di Situ Cihuni. Keempat, bukan merupakan tanah milik dan/atau menjadi hak kewenangan Dirjen SDA Kementerian PUPR untuk memanfaatkannya dan mengelola tanah tersebut.
Kelima, hakim memerintahkan Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang untuk melanjutkan proses permohonan peningkatan status hak atas tanah yang diajukan PT Cihuni Mas.
"Di Pengadilan Tinggi (PT) Banten, PT Cihuni Mas juga menang karena putusan hakim Pengadilan Tinggi Banten menguatkan putusan PN Tangerang yang menyatakan PT Cihuni Mas merupakan pemilik sah atas lahan di Situ Cihuni. Hanya saja PT Cihuni Mas kalah di PK yang diajukan Dirjen SDA Kementerian PUPR. Putusan PK membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten," ujar Ali.
Ali juga menyoroti putusan PK Nomor 1284 PK/Pdt/2022 yang diajukan Dirjen SDA Kementerian PUPR. Ali meyakini putusan PK itu tak menetapkan siapa pemilik lahannya dan Dirjen SDA Kementerian PUPR ditetapkan hanya selaku pengelola.
"Karena bukan sebagai pemilik maka Dirjen SDA tidak memiliki kewenangan untuk melarang pihak lain yang memiliki alas hak in casu PT Cihuni Mas (telah melakukan pembebasan/ GANTI RUGI lahan kepada Para Penggarap ) untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagaimana Pasal 580 KUHPerdata tentang milik jo UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum terkait hak milik," ucap Ali.
Apalagi putusan PK Nomor 1284 PK/Pdt/2022 merupakan sengketa keperdataan untuk menentukan suatu kepemilikan. Namun, lanjut Ali, faktanya dalam putusan tersebut sama sekali tidak menetapkan pemilik lahan tersebut.
"Di samping itu dalam putusan (PK) ini juga tidak menyebutkan objek yang jelas yang dimaksud dengan pengelolaan dan sama sekali tidak menyebutkan dan menetapkan batas-batasnya, sementara fakta di lapangan lahan yang digenangi air berupa situ adalah hanya sebagian dari yang menjadi objek sengketa yakni kurang lebih 7 hektare bersesuaian dengan Surat Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Barat No.611.1/1298/HK tertanggal 15 Agustus 1997 Diktum Angka 2. Sehingga hal ini jelas menimbulkan ketidakpastian," ujar Ali.
Sementara itu, kuasa hukum lain dari PT Cihuni Mas, Satyo Andhiko mengatakan tanah yang menjadi obyek sengketa merupakan bekas tanah garapan, dimana PUPR hingga saat ini tidak dapat menunjukkan telah melakukan kompensasi ganti rugi atas tanah garapan tersebut. Padahal, kata Satyo, kompensasi penggantian atas tanah garapan disyaratkan dalam UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
"Lagi pula secara faktual lahan yang digenangi air hanya terbatas seluas 7 hektare. Sementara luas lahan yang menjadi objek sengketa dan yang telah klien kami PT. Cihuni lakukan kompensasi penggantian ganti rugi kepada penggarap (pembebasan lahan) kurang lebih seluas 32,34 hektare," ucap Satyo.
Lebih lanjut, Satyo mengatakan obyek sengketa saat ini masih dalam hak pengelolaan PT Cihuni Mas berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 556.31/1424 Perek tanggal 15 Mei 1997. Obyek sengketa tersebut berupa genangan air bekas galian pasir seluas 7 hektare dan sekelilingnya berupa sawah yang dikelola atau digarap masyarakat setempat dan telah mendapatkan ganti rugi dari PT Cihuni Mas.
"Kami juga keberatan dengan langkah Dirjen SDA Kementerian PUPR yang menggunakan oknum TNI dalam eksekusi obyek sengketa yang masih dikuasai oleh PT Cihuni Mas. Ini masih sengketa dan TNI tidak boleh terlibat karena menyalahi ketentuan perundang-undangan," ujar Satyo.
Sebelumnya, Sekretaris Ditjen SDA Airlangga Mardjono mengatakan sengketa ini telah berlangsung sejak 2016 dimana PT Cihuni Mas melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Setelah melalui berbagai gugatan di sejumlah pengadilan, akhirnya pemerintah memenangkan gugatan tersebut lewat dikabulkannya permohonan PK.
"Peninjauan kembali tersebut telah diputus pada Desember 2022. Dengan amar putusan mengabulkan permohonan peninjauan kembali," kata Airlangga dalam konferensi pers di kawasan Situ Cihuni, Tangerang, Banten, Jumat (14/7/2023).
Pada 2020, Ditjen SDA PUPR melakukan pencarian bukti baru alias novum untuk mengajukan PK. Novum ini berupa peta Tangerang first edition 1942 yang ditemukan di Kantor Arsip Nasional RI. Akhirnya, permohonan PK pun dikabulkan.