REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengecam keras langkah DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesehatan menjadi undang-undang dalam sidang paripurna ke-29, Selasa (11/7/2023).
Menurut Founder dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih, penyusunan RUU Kesehatan yang terburu-buru diperparah dengan tidak ada transparansi naskah final kepada publik.
Dia mengatakan, pengesahan ini juga mengabaikan rekomendasi masyarakat sipil terkait aspek formil dan materiel dalam RUU Kesehatan. CISDI, kata dia, mencatat ada empat masalah dalam draf dan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Kesehatan yang kini telah disahkan.
Beberapa ketentuan bermasalah, yakni perihal penghapusan mandatory spending sektor kesehatan sebesar 10 persen dari APBN dan APBD, beberapa kebijakan yang belum inklusif gender dan kelompok rentan. Tak sampai di sana, belum dilembagakannya peran kader kesehatan juga menjadi masalah, selain dari belum dimasukkannya pasal pengaturan iklan, promosi, dan sponsorship tembakau dalam RUU Kesehatan.
“Pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang membuktikan pemerintah dan DPR RI mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti,” kata Diah Satyani dalam keterangannya di Jakarta, dikutip, Rabu (12/7/2023).
Diah mengatakan, tertutupnya proses penyusunan RUU Kesehatan ditandai dengan absennya informasi kepada publik mengenai naskah final rancangan yang sudah disahkan menjadi undang-undang. Hingga kini pun, kata dia, tak ada penjelasan menyoal diterima atau tidaknya masukan dalam proses penyusunan rancangan undang-undang ini.
“Kami melihat proses yang tidak transparan dan inklusif dalam penyusunan RUU Kesehatan. Di sisi lain, proses konsultasi publik pun sangat singkat, minim, dan tertutup. Seluruh rangkaian proses tersebut menyulitkan seluruh masukan masyarakat sipil terefleksi dalam undang-undang ini,” ujarnya.
Pasalnya, berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 Tahun 2020 tentang partisipasi publik bermakna, kata dia, disebutkan tiga prasyarat pelibatan masyarakat secara bermakna. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
“Platform yang dibuat oleh pemerintah dan DPR RI hanya bersifat satu arah dan sementara, tidak pernah ada platform menetap yang memungkinkan masyarakat sipil memantau masukan dan mendapatkan umpan balik dari masukan yang mereka berikan selama proses penyusunan RUU Kesehatan ini. Menurut kami, situasi ini mencederai prinsip partisipasi publik yang bermakna sesuai Putusan MK,” kata Diah kembali.
Berdasarkan catatan tersebut, CISDI, kata dia, menyampaikan beberapa sikap dan catatan. Pertama, mengecam keras Pemerintah dan DPR RI yang tidak melibatkan publik secara bermakna, inklusif, partisipatif, dan berbasis bukti dalam proses penyusunan dan pengesahan RUU Kesehatan.
Kedua, mendesak Presiden untuk meninjau dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan DPR RI.