REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Meraih pendidikan setinggi-tingginya tentu menjadi impian sebagian besar orang. Pun dengan Muhammad Arifin Ilham (18 tahun) yang memiliki tekad kuat bisa meraih pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Meski lahir dan tumbuh dari keluarga sederhana, asa Arifin untuk meraih cita begitu menggelora, sekuat arus tsunami yang sempat memorak-porandakan kampung halamannya pada 2004 silam.
Kini impian Arifin kian nyata. Cita-citanya menjadi seorang diplomat selangkah lebih dekat. Dia berhasil diterima masuk Universitas Gadjah Mada (UGM) lewat jalur Seleksi Nasional Berdasar Prestasi (SNBP) 2023 di Prodi Ilmu Hubungan Internasional Fisipol.
Diterima kuliah di UGM menjadi sebuah kebanggaan tersendiri baginya. Selain tanpa tes, dia pun menjadi penerima UKT Pendidikan Unggul bersubsidi 100 persen dari UGM sehingga dibebaskan dari biaya kuliah hingga 8 semester. Tak hanya itu, dia juga menjadi kandidat penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari pemerintah.
Arifin merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Mukhlis (46) dan Afrianti (40) asal Desa Lamgeu eu, Peukan Bada, Aceh Besar. Sang ayah yang menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga yang setiap harinya menjalankan usaha toko kelontong. Dari usahanya itu, pendapatan yang dihasilkan setiap bulannya rata-rata Rp 1-1,5 juta untuk menghidupi keluarga.
Sejak kecil Arifin tumbuh dalam lingkungan sederhana. Bahkan, pada awal kehidupannya dijalani di barak pengungsian. Dia lahir tiga bulan setelah tsunami meluluhlantahkan Banda Aceh, termasuk kampung halamannya. Dari lahir hingga usia dua tahun, dia terpaksa tinggal di tenda barak pengungsian karena rumah orang tuanya rata dengan tanah tak bersisa.
“Saat terjadi tsunami Desember 2004 lalu, ibu masih kondisi hamil saya usia kandungan lima bulan. Alhamdulillah, bapak ibu berhasil selamat dari tsunami, lari ke bukit kala itu,” tutur Arifin saat ditemui di rumahnya belum lama ini dalam siaran pers, Selasa (11/7/2023).
Dua tahun tsunami berlalu, dia dan keluarganya kembali ke kampung halaman menempati rumah bantuan tsunami dari pemerintah. Sejak saat itu sang ayah memulai kembali usaha toko kelontong warisan keluarga di Desa Keudebing yang berjarak sekitar 4 km dari rumahnya.
Meski hidup dengan kondisi kondisi pas-pasan, tak pernah sedikitpun Arifin berkecil hati. Apalagi berputus asa dalam menggapai mimpi. Sejak kecil dia memimpikan bisa berkuliah agar bisa terlepas dari belenggu keterbatasan. Karena itu, sedari bangku sekolah dasar dia berusaha untuk berprestasi dengan tekun belajar.
Sejak SD hingga SMP dia selalu masuk tiga besar di sekolah dan di jenjang SMA selalu meraih ranking satu dan mendapatkan beasiswa pendidikan. Sederet prestasi di tingkat nasional pernah diraih Arifin seperti juara satu lomba esai FPCI UGM 2022. Keinginan berkuliah semakin menguat karena dorongan dari guru di sekolahnya MAN 1 Banda Aceh. Arifin menjatuhkan pilihan ke UGM sebagai tempat untuk melanjutkan studi.
“Sejak SMP memang pengen kuliah di UGM. Kata orang-orang, kalau ada potensi lebih baik kuliah di luar Aceh, jadi saya semakin mantap pilih UGM karena 12 tahun kan sudah habiskan belajar di Aceh,” kata dia.
Dia pun meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi dengan pilihan di UGM. Gayung bersambut, kedua orangtua Arifin pun memberikan restu dengan syarat harus mencari beasiswa karena tidak mampu jika membiayai secara mandiri.
“Saat tahu diterima masuk UGM, waktu itu saya bahagia sekaligus sedih karena masih mikir apa nanti bisa kuliah sampai selesai karena terkendala biaya,” ucapnya.
Kegembiraan turut dirasakan oleh Mukhlis dan Afrianti ketika mengetahui putra sulungnya berhasil diterima masuk UGM tanpa tes. Mereka cukup tahu bagaimana kuatnya keinginan anaknya untuk bisa merasakan bangku perkuliahan. “Anaknya sejak dulu memang pengen kuliah di Jogja. Kami senang anak bisa diterima masuk UGM gratis,” ungkap Afrianti.
Afrianti mengatakan, saat itu dia dan suami cukup lega karena putranya bisa meraih apa yang telah lama diimpikan. Tapi, mereka pun terkejut ketika mengetahui Arifin hanya dibebaskan dari biaya kuliah saja. Sementara biaya hidup selama kuliah masih harus mengupayakan sendiri.
“Ternyata beasiswanya tidak full, asrama dan biaya hidup tidak ditanggung. Saat itu saya bilang ke anaknya untuk tidak usah diambil karena memang tidak mampu biayanya, bantu-bantu di rumah jualan saja,” terangnya.
Mereka lantas ke sekolah untuk menyampaikan hal tersebut. Tapi pihak sekolah menyarankan Arifin tetap lanjut kuliah. Bagaimana tidak, Arifin menjadi salah satu dari dua lulusan MAN 1 Banda Aceh yang berhasil menjadi angkatan pertama tembus masuk UGM. “Soal biaya hidup kata sekolah nanti bisa cari beasiswa KIP. Semoga dapat, kalau tidak ya anaknya cari beasiswa lainnya untuk hidup di Jogja,” kata Mukhlis.
Tak lama lagi sang putra akan segera berangkat menuntut ilmu ke UGM. Kendati begitu ia masih galau soal biaya transportasi yang begitu besar menuju Yogyakarta. “Tiket belum ada, semoga bisa segera terkumpul sedikit demi sedikit untuk berangkatkan anak ke Jogja,” kata dia.
Mukhlis berharap nantinya anaknya bisa menjalani kuliah dengan lancar, lulus tepat waktu, dan segera mendapatkan pekerjaan. “Kami hanya bisa mendoakan anaknya bisa lancar kuliah dan jadi orang sukses, bisa membantu keluarga nantinya,” jelas dia.
Arifin merupakan satu di antara ribuan anak bangsa yang berhasil diterima kuliah di UGM. Meski terlahir dari keluarga yang kurang mampu, tapi dia berhasil membuktikan keterbatasan ekonomi tidak menjadi penghalang bagi seseorang meraih pendidikan setinggi-tingginya.