Jumat 07 Jul 2023 19:21 WIB

Kelompok Mahasiswa: Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa tak Punya Urgensi

Perpanjangan masa jabatan kepala desa dinilai transaksional semata

Ilustrasi kepala desa unjuk rasa. Perpanjangan masa jabatan kepala desa dinilai transaksional semata.
Foto: Republika/Prayogi.
Ilustrasi kepala desa unjuk rasa. Perpanjangan masa jabatan kepala desa dinilai transaksional semata.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Diskursus mengenai perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) kembali bergulir. Setelah desakan pada Januari lalu meredup, sejumlah Kades yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kepala Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menggelar demonstrasi kembali di Gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta (5/7/2023).

 

Baca Juga

Tuntutan itu mengemuka melalu revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sembilan fraksi menyetujui agenda revisi UU tersebut, termasuk mendukung perpanjangan jabatan kades yang mulanya 6 tahun menjadi 9 tahun dalam satu periode. 

 

DPR bahkan menjadikan wacana rancangan undang-undang (RUU) Revisi UU Desa sebagai agenda prioritas dalam daftar RUU komulatif terbuka. Mereka menyebut RUU perubahan UU Desa akan menjadi agenda inisiatif perubahan dari lembaga DPR yang akan disahkan dalam rapat paripurna pada Selasa (11/07). 

 

Koordinator Pengurus Kajian dan Analisis Kebijakan Publik Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara Se-Indonesia (AMHTN-SI), A Fahrur Rozi menilai, agenda perpanjangan jabatan kades sama sekali tidak memiliki urgensi dasar pertimbangan yang cukup. 

 

Menurut dia, wacana tersebut hanya sarat dengan kepentingan transaksional semata. "Ini tetap sarat dengan kepentingan transaksional jabatan dalam lelang suara Pemilu antara desa dan parlemen, karena tuntutannya saja tidak memiliki dasar yang kuat, fundamentum petendinya itu apa," kata Rozi dalam keterangan tertulis, Jumat (7/7/2023). 

 

Secara umum, hal yang mendorong perpanjangan jabatan Kades adalah stabilisasi pembangunan. Masa 6 tahun dinilai tidak cukup melakukan pembangunan di tengah instabilitas residu politik konservatif pada setiap gelaran Pilkades. 

 

Menurut Rozi, alasan tersebut tidak dapat dijadikan dasar memperpanjang masa jabatan. Tidak ada relasi ekuivalen di dalamnya. 

 

Kalau hal tersebut terjadi, kata Rozi, DPR telah membiarkan dua kemungkaran politik terjadi. Pertama mengamini sekaligus membiarkan konservatisme dan taklid buta politik masyarakat desa berkelanjutan. 

Baca juga: Jalan Hidayah Mualaf Yusuf tak Terduga, Menjatuhkan Buku Biografi Rasulullah SAW di Toko

 

Kedua membatasi/menjadikan lama terjadinya sirkulasi kepemimpinan dan evaluasi pemerintahan. 

 

 

Menurut dia, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memang mengukur konstitusionalitas jabatan kades tidak melalui konstitusi melainlan undang-undang, tapi subtansinya adalah, sirkulasi dan evaluasi. 

 

Artinya, jika rakyat tidak nyaman dengan kadesnya, dalam 6 tahun mereka dapat menggantinya lagi. 9 tahun adalah waktu yang lama untuk menjalankan substansi konstitusi tersebut," kata dia. 

Baca juga: Ada 100 Juta Kerikil untuk Lempar Jumrah Jamaah Haji,  Kemana Perginya Seusai Dipakai? 

 

 

Jika DPR benar-benar memiliki iktikad baik terhadap stabilitas politik desa, menurut Rozi, DPR cukup membangun ekosistem yang baikan melalui pendidikan politik di desa (political socialization).  

 

Hal itu dapat dilakukan dengan dua hal. Pertama membangun program ketika dalam masa reses yang kontinuitas, atau kedua dengan hilirisasi peran infrastruktur politik seperti parpol di mana pendidikan politik tidak terbatas dalam ruang-ruang kaderisasi anggota parpol semata. 

 

"Stabilitas politik desa dapat dibangun dalam kesadaran yang utuh. Ini tentu lebih baik dari pada memperpanjang jabatan kades. Tidak ada kepastian jabatan yang lama dapat memperbaiki stabilitas politik desa," kata Rozi.  

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement