REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) disebut merupakan buntut dari melencengnya sistem pendidikan nasional dari amanat konstitusi. Fokus utama perguruan tinggi Indonesia yang kini bukan menjadi universitas riset, melainkan universitas pengajaran, menjadi faktor yang membuat semakin mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi.
“Pasal 31 ayat 5 UUD 1945 itu jelas, tujuan dari pendidikan itu mengembangkan ilmu pengetahuan. Sekarang coba kita lihat, satu saja perguruan tinggi kita itu yang universitas riset. Ada tidak? Nggak ada. Semuanya teaching university. Jadi semuanya tugasnya adalah ngajar. Tidak ada yang tugasnya meriset,” ujar pengamat pendidikan Indra Charismiadji kepada Republika, Rabu (5/7/2023).
Di negara lain, kata dia, tugas utama dari universitas itu bukan mengajar, melainkan melakukan riset. Menurut dia, itulah yang dimaksud dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Hasil riset yang dihasilkan barulah kemudian dijadikan bahan pengajaran oleh universitas kepada para mahasiswanya.
“Jadi kita bisa lihat bagaimana cara hidup universitas di luar negeri itu lebih banyak menitikberatkan pada funding atau anggaran untuk riset. Kalau kita, karena tidak ada riset, semuanya adalah ngambil dari mahasiswa,” jelas dia.
Fokus utama pada riset
Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development Analysis itu menerangkan, ketika universitas memiliki fokus utama pada riset, maka universitas akan mendapatkan dana berupa dana riset. Dari sanalah kemudian sumber para dosen dan fakultas akan mendapatkan upah. Berbeda dengan universitas yang memiliki fokus utama pengajaran saja.
“Karena kita tidak punya riset, semua dananya adalah dana ngajar. Jadi itu yang ditanggung oleh mahasiswa. Makanya setiap tahun jadi semakin mahal, semakin mahal, semakin mahal kan. Intinya perbedaannya kalau di luar negeri itu karena dosennya, faculty-nya itu sudah digaji dari dana riset, maka biaya untuk mahasiswanya bisa murah,” kata dia.
Dia juga menilai, tingginya biaya UKT sangat jelas berkaitan dengan berlakunya kebijakan status perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH). Menurut dia, dengan memberikan status PTN BH, pemerintah ingin mengurangi pemberian subsidi kepada PTN tersebut dan meminta mereka untuk mencari uang sendiri.
“Jelas dong. Kan dengan kata lain pemerintah ingin mengurangi subsidi. Jadi universitas itu disuruh hidup sendiri. Karena tadi tidak ada riset, yaudah satu-satunya cara adalah mempertinggi biaya kuliah. Cuma itu jalannya. Nggak ada cara lain kan? Kan itu lingkaran setannya,” tutur Indra.