Senin 19 Jun 2023 22:44 WIB

Demokrat Tolak RUU Kesehatan

Demokrat tolak pembahasan yang terburu-buru dan penghapusan mandatory spending.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Teguh Firmansyah
Massa dari Tenaga medis dan kesehatan melakukan aksi di depan gedung MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Senin (5/6/2023). Massa tersebut melakukan aksi damai untuk menolak pembahasan rancangan undang-undang atau RUU Kesehatan Omnibus Law.
Foto: Republika/Prayogi
Massa dari Tenaga medis dan kesehatan melakukan aksi di depan gedung MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Senin (5/6/2023). Massa tersebut melakukan aksi damai untuk menolak pembahasan rancangan undang-undang atau RUU Kesehatan Omnibus Law.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Fraksi Partai Demokrat DPR menolak rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Salah satu poin penolakannya adalah karena penghapusan pengeluaran wajib atau mandatory spending dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) khusus untuk kesehatan.

"Kebijakan pro kesehatan yang telah ditetapkan minimal 5 persen dari APBN yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada era Presiden ke-6 RI Bapak SBY hendaknya dapat ditingkatkan jumlahnya," ujar anggota Komisi IX Fraksi Partai Demokrat Aliyah Mustika Ilham dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RUU Kesehatan, Senin (19/6/2023).

Baca Juga

Dalam Pasal 171 Ayat 1 dan 2 UU 36/2009 mengamanatkan, pemerintah mengalokasikan minimal 5 persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk kesehatan, di luar gaji. Besaran anggaran kesehatan tersebut diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik.

Pelayanan publik tersebut meliputi pelayanan kesehatan baik pelayanan preventif, pelayanan promotif, pelayanan kuratif, dan pelayanan rehabilitatif. Tujuannya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

"Hal tersebut (penghapusan mandatory spending) semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat," ujar Aliyah.

"Fraksi Partai Demokrat berpendapat bahwa mandatory spending sektor kesehatan masih sangat diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat dan dalam rangka mencapai tingkat IPM, indeks pembangunan manusia," sambungnya.

Di samping itu, pembahasan RUU Kesehatan yang menggunakan metode Omnibus Law dibahas terburu-buru. Hal tersebut menyebabkan pembahasannya kurang komprehensif dan tak menyerap aspirasi berbagai pihak terkait kesehatan.

"Jika waktu dan ruang waktu lebih panjang lagi kami meyakini RUU ini dapat lebih komprehensif, holistik, berbobot, dan berkualitas," ujar Aliyah.

Komisi IX telah menyelesaikan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan. Hari ini, mereka melakukan pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU yang menggunakan metode omnibus law tersebut.

"Kita perlu mengambil persetujuan bersama, apakah naskah RUU ini disepakati untuk ditindaklanjuti pada pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna?" tanya Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RUU Kesehatan dijawab setuju.

Dengan ditetapkannya RUU Kesehatan dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I itu, payung hukum yang bertujuan untuk menghadirkan transformasi layanan kesehatan itu dapat dibawa ke rapat paripurna DPR terdekat untuk disahkan menjadi undang-undang.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement