Senin 19 Jun 2023 13:12 WIB

Lukas Enembe Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Senilai Rp 46,8 Miliar

Sidang pembacaan dakwaan tersebut dihadiri langsung oleh Lukas Enembe.

Terdakwa Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe menjalani sidang perdana beragendakan pembacaan dakwaan di Pengandilan Tipikor, Jakarta, Senin (19/6/2023). Dalam sidang tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) KPK mendakwa Lukas Enembe diduga menerima uang suap sebesar Rp45,8 miliar dan gratifikasi sebanyak Rp1 miliar dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi pengerjaan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Papua.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe menjalani sidang perdana beragendakan pembacaan dakwaan di Pengandilan Tipikor, Jakarta, Senin (19/6/2023). Dalam sidang tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) KPK mendakwa Lukas Enembe diduga menerima uang suap sebesar Rp45,8 miliar dan gratifikasi sebanyak Rp1 miliar dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi pengerjaan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Gubernur Papua periode 2013-2018 dan 2018-2023 Lukas Enembe didakwa menerima suap senilai Rp 45.843.485.350 dan gratifikasi sebanyak Rp 1 miliar dari sejumlah rekanan.

"Terdakwa Lukas Enembe selaku Gubernur Papua periode 2013-2018 dan 2018-2023 bersama-sama dengan Mikael Kambuaya selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Papua tahun 2013-2017 dan Gerius One Yoman selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataaan Ruang (PUPR) Papua tahun 2018-2021 menerima hadiah seluruhnya Rp 45.843.485.350," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Wawan Yunarwatno di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (19/6/2023).

Baca Juga

Sidang pembacaan dakwaan tersebut dihadiri langsung oleh Lukas Enembe yang sebelumnya menyampaikan keberatan pada Senin (12/6/2023) karena ingin menghadiri sidang secara langsung dan bukan lewat sambungan konferensi video. Saat mendengarkan pembacaan surat dakwaan, Lukas Enembe duduk di kursi terdakwa dengan didampingi salah satu penasihat hukumnya Petrus Bala Pattyona.

Dari jumlah suap itu, menurut JPU KPK, sebanyak Rp 10.413.929.500 berasal dari pengusaha Piton Enumbi selaku Direktur sekaligus pemilik PT Meonesia Mulia, PT Lingge-Lingge, PT Astrad Jaya serta PT Melonesia Cahaya Timur dan sebanyak Rp 35.429.555.850 berasal dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, PT Tabi Bangun Papua sekaligus CV Walibhu.

"Agar Lukas Enembe bersama-sama dengan Mikael Kambuaya dan Gerius One Yoman mengupayakan perusahaan-perusahaan yang digunakan Piton Enumbi dan Rijatono lakka dimenangkan dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua tahun anggaran 2013-2022," ujar jaksa Wawan.

Piton Enumdi diketahui adalah tim sukses Lukas Enembe dalam pemenangan Gubernur Papua periode 2013-2018. Lukas pun menginstruksikan kepada Mikael Kambuaya untuk memberikan proyek kepada Piton Enumbi.

"Terdakwa juga membagi jatah proyek pekerjaan berdasarkan status ruas jalan Provinsi Papua dimana nanti berdasarkan ruas jalan tersebut akan ditetapkan anggaran dan siapa saja kontraktor yang akan mendapat pekerjaan dengan kesepakatan terdakwa akan menerima fee atas proyek yang didapat Piton Enumbi," tambah jaksa.

Piton Enumbi selama 2013-2022 memperoleh 10 proyek yang dikerjakan tiga perusahaannya dengan total kontrak senilai Rp 198.104.439.725. Selanjutnya pada periode Januari 2017-1 Juli 2020, Piton Enumbi memberikan fee yaitu melalui transfer bank ke rekening atas nama Lukas Enembe dan Rifky Agereno dan Agus Parlindungan Tambunan serta membayari barang untuk Lukas Enembe melalui kartu kredit milik Piton Enumbi sehingga total fee mencapai Rp 10.413.929.500.

Sedangkan Rijatono Lakka juga menjadi tim sukses pemenangan Lukas Enembe pada pilkada 2018. Sebelumnya Rijatono Lakka sempat melakukan renovasi untuk rumah pribadi Lukas Enembe pada 2017.

Rijatono Lakka lalu meminta proyek kepada Lukas Enembe sebagai kompensasi kemenangan dalam pilkada. Lukas Enembe setuju dengan meminta Tijatono menyediakan fee atas proyek yang diperoleh.

"Terdakwa lalu memerintahkan Gerius One Yoman selaku Kagis PUPR Papua untuk mengupayakan Rijatono Lakka sebagai penyedia barang/jasa pada proyek-proyek yang bersumber dari APBD Papua," tambah jaksa.

Gerius One lalu memerintahkan Kasi Pengelolaan Sumber Daya Air Dinas PUPR Papua Nataniel Kandai untuk membantu Rijatono Lakka. Yakni dengan memberikan kerangka acuan kerja (KAK) dan rincian harga satuan pada harga perkiraan sendiri (HPS) proyek dinas PUPUR yang akan dilelang sehingga Rijatono Lakkan menggunakan data tersebut untuk menyusun dokumen penawaran.

Biro Layanan Pengadaan Provinsi Papua yang mengetahui Rijatono Lakka merupakan titipan Lukas Enembe pun memenangkan perusahaan Rijatono Lakka yaitu CV Walibhu serta beberapa perusahaan yang dipinjam benderanya untuk mengerjakan proyek. Yaitu PT Aiwondeni Permai, PT Papua Sinar Anugerah, PT Cahaya Rante Tondo, CV Skylander serta PT Vertical Tiara Manunggal.

Rijatono Lakka sepanjang 2017-2021 pun mendapatkan 12 proyek dengan total nilai Rp 110.469.553.936. Rijatono Lakka kemudian memberikan fee sebesar Rp 1 miliar pada 11 Mei 2020 melalui transfer bank ke rekening Lukas Enembe. Selain itu Rijatono Lakka pada periode 2019-2021 melakukan renovasi fisik milik Lukas Enembe melalui CV Walibhu dengan total nilai Rp 34.429.555.850.

Atas perbuatannya, Lukas Enembe didakwa dengan pasal penerimaan suap yaitu pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP.

Selain penerimaan suap, Lukas Enembe juga didakwa menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp 1 miliar yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya sebagai Gubernur Provinsi Papua periode 2013-2018.

"Bahwa sebagai Gubernur Papua periode 2013-2018 pada 12 April 2013 di Bank BCA KCU Jayapura terdakwa telah menerima uang Rp 1 miliar dari Budy Sultan selaku Direktur PT Indo Papua melalui Imelda Sun yang dikirim ke rekening terdakwa," kata jaksa.

Terhadap penerimaan gratifikasi tersebut, Lukas tidak melaporkan kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari sebagaimana ditentukan oleh undang-undang padahal penerimaan itu tanpa alas hak yang sah menurut hukum. Terhadap perbuatannya, Lukas didakwa dengan Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Atas dakwaan tersebut, Lukas Enembe langsung mengajukan nota keberatan (eksepsi). "Keberatan akan dibacakan langsung karena Pak Lukas pernah stroke dan akan dibacakan bergantian oleh saya, Pak Kaligis dan Purwaning. Cuma permohonan kami tadi tidak bisa konsultasi ke beliau, karena itu hak kami beritahukan ke yang mulia setelah sidang bisa ketemu jangan dihalangi," kata penasihat hukum Lukas, Petrus Bala Pattyona.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement