REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) menyampaikan penolakannya terhadap pasal yang mengkategorikan tembakau sejajar dengan zat psikotropikan dan narkotika dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. ICMI menganggap, penggolongan tembakau dalam kategori zat psikotropika dan narkotika dapat mempengaruhi upaya kesehatan.
Hal itu juga berimplikasi ke berbagai bidang industri hasil tembakau (IHT). Menurut Ketua Departemen Upaya Kesehatan Masyarakat MPP ICMI, Zaenal Abidin, pemerintah dan DPR harus membahas RUU Kesehatan lebih mendalam dan komprehensif.
"Menurut data sebanyak 6,1 juta petani tembakau di Indonesia yang bergantung pada sektor pertembakauan dan nantinya dapat terancam dengan digulirkannya regulasi ini," kata Zaenal kepada wartawan di Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Zaenal menekankan, perlunya dialog dengan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pemutakhiran UU Kesehatan. "Proses pembentukan undang-undang maka dialog terbuka adalah suatu keniscayaan dan menjadi hak warga negara, yang sering disebut meaningful participation," ujarnya.
Zaenal menjelaskan, warga negara didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, serta mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Dia mengemukakan, dialog tersebut diperlukan karena ICMI menilai pembahasan selama ini di Senayan tidak transparan dan terkesan terburu-buru.
Zaenal menyebut, ada beberapa catatan kritis ICMI pada proses penyusunan RUU Kesehatan antara pemerintah dan DPR. Pertama, kata Zaenal, adanya upaya penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, rekomendasi bagi anggotanya yang berpraktik melayani masyarakat
"Ini menjadi isu penting. Ditengarai RUU ini dapat menyebabkan terjadinya pemusatan kewenangan seluruh urusan kesehatan di Kementerian Kesehatan," ucap Zaenal.
Kedua, RUU Kesehatan mengancam kemandirian rumah sakit sehingga menjadi keberatan organisasi bidang kesehatan. Ketiga, lanjut Zaenal, bergesernya basis pendidikan dokter spesialis dari universitas ke rumah sakit saja yang akan berakibat menurunkan mutu lulusannya dan mempengaruhi layanan kesehatan masyarakat.
Zaenal menambahkan, masalah lain yakni dibolehkannya korban pemerkosaan aborsi pada usia kehamilan 14 pekan. Hal tersebut bertentangan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang hanya mentoleransi hingga batas usia kehamilan enam pekan.