Rabu 07 Jun 2023 06:44 WIB

Sejarah Tuyul: Dari Kitab Al-Adawiyah Hingga Krisis Ekonomi pada 1930

Kemunculan Tuyul Marak Ketika Muncul Pada Krisis Ekonomi Tahun 1930

Warga Kampung Burujul 1, Kelurahan Nagarasari, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, memasang spanduk ada tuyul karena sering kehilangan uang, Sabtu (3/6/2023).
Foto:

Sejak awal tahun 1929, The Federal Reserve (Bank Sentral AS) menghentikan uang emas sebagai alat pemba- yaran. Lembaga ini mulai menarik peredaran uang kertas yang dijamin emas dari sirkulasi dan menggantinya dengan uang res- mi. Perekonomian AS pun akhirnya mengalami malapetaka yang di negeri ini dikenal dengan sebutan Great Depression.31 AS juga mengalami kehancuran bursa saham sehingga 40 persen nilai saham hilang.

Berbagai perusahaan bangkrut, pabrik-pabrik tutup, bank-bank banyak yang gagal, dan pendapatan pertanian jatuh sampai 50% sehingga diperkirakan satu dari setiap empat orang AS menjadi penganggur.

Selama krisis tersebut, berbagai pemerintahan di seluruh dunia berusaha menemukan sistem baru untuk meningkatkan partum- buhan ekonomi mereka. Presiden Amerika Franklin Roosevelt mengambil langkah sebagai solusi mengatasi ambruknya pasar bursa saham setelah tahun 1929.33 Karena itu sejak krisis eko- nomi ini, uang kertas dolar cetakan tahun 1922 menjadi berbeda dengan cetakan tahun 192934. Pada uang kertas cetakan tahun 1922 terdapat tulisan “Ten Dollars in Gold Coin payable to the bearer on demand”.

Dengan demikian, uang kertas ini seperti kuitansi yang berisi keterangan kepemilikan 10 dolar dalam bentuk koin emas yang dititipkan dan disimpan di bank. Namun, pada uang kertas dolar cetakan tahun 1929, kata-kata tersebut diganti menjadi “Will pay to the bearer on demand” dan menghilangkan kata-kata “in gold coin”.

Dalam hal ini mata uang dolar AS cetakan tahun 1922 berisi keterangan tentang penebusan emas ini senilai 10 dolar AS. Sedangkan pada uang kertas dolar cetakan tahun 1929 tidak lagi memberikan hak penebusan atas emas, dan hanya dikatakan “akan membayarkan” kepada pemegangnya senilai 10 dolar AS sebagaimana contoh di atas.

Agar uang emas dan uang perak tidak berlaku sebagai alat tukar dan diganti dengan uang kertas, dalam perkembangan selanjutnya Presiden AS Franklin Roosevelt, menyatakan sebagai kejahatan bagi warga negara Amerika Serikat yang mempunyai emas lantakan atau koin emas dengan ancaman pidana kurungan dan penjara. Bank, lembaga-lembaga keuangan, dan warga AS diberi waktu tiga minggu untuk menyerahkan semua koin emas, emas lantakan, sertifikat emas.

Sebagaimana terjadi di Indonesia sebelum terjadinya malaise, pemerintah kolonial Belanda telah mengedarkan koin atau uang emas, seperti talenan (25 sen), 50 sen, 1 gulden sebelum mengedarkan uang kertas.37 Kedatangan Belanda sendiri sejak tahun 1602 ke Indonesia pada mulanya membawa uang logam terutama uang perak untuk dijadikan alat tukar dengan hasil-hasil tropis di Nusantara melaui Vereenigde Ost-Indische Compagnie (VOC).

Sebelum beredarnya uang emas dan uang perak dari VOC, menurut Quinn (dalam Boomgard, 1998: 284-285), keping uang emas dan perak asli buatan pribumi di Jawa sudah digunakan sejak abad ke-8. Selanjutnya beredar juga uang tembaga dari Cina sejak abad ke-13, pada abad ke-16 beredar uang emas dan uang perak Portugis dan Spanyol, dan pada abad ke-17 beredar pula uang perak Belanda.

Pada abad ke-18, Belanda juga menge-darkan uang tembaga yang disebut duiten. Namun, koin emas dan koin perak mulai diberlakukan di Indonesia sejak peradaban Hindu datang ke Indonesia pada abad ke-4. Mereka menggu- nakan mata uang yang dibawa dari negerinya masing-masing yang menginspirasi penduduk lokal atau penguasa untuk membuat mata uang sendiri.

Perlahan-lahan penggunaan koin emas dan koin perak yang sudah berlaku sekian abad lamanya hilang dari peredaran teru- tama sejak terjadinya malaise. Menurut reportase Gatra edisi 20 Agustus 2005 berjudul Mikul Duwur. Pada masa krisis tersebut pemerintah kolonial Belanda memperlakukan penduduk pribumi dengan sangat zalim terutama sejak awal terjadinya krisis ekonomi dunia tersebut.

Hal ini sebagaimana analisis statistik tahun 1930 tentang porsi yang menetes untuk warga Hindia-Belanda. Hasil analisis ini menunjukkan penduduk pribumi (sons of soil) yang waktu itu berjumlah 59 juta hanya mendapatkan 3,6 juta gulden (0,54%) dari penerimaan Hindia-Belanda. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kelompok kulit putih yang hanya 241.000 jiwa namun menikmati 665 juta gulden (99,3%) dan kelompok asia timur yang berjumlah 1,3 juta jiwa mendapatkan 0,4 juta gulden.

Keadaan ini menjadikan penduduk pribumi yang ingin memenuhi berbagai macam kebutuhannya dan masih memiliki harta terutama emas mengantre setiap hari di depan loket pegadaian. Dari kantor milik pemerintah Hindia-Belanda ini, sekian jumlah emas milik mereka selanjutnya mengalir ke negeri Belanda dengan total nilainya sebesar 158 juta gulden. Sementara itu, rakyat yang sudah tidak memiliki apa-apa banyak yang melakukan kerusuhan, mencuri, membegal, dan menodong baik di kota-kota maupun di desa-desa.

--------

*Nurman Kholis, adalah peneliti di Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, Badan litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Menurut penulis, karya ini berawal dari bagian tesis yang pernah ditulisnya untuk disertasi di FIB-UNPAD Bandung, tetapi telah di-update sehingga berbeda dengan aslinya.Tulsan ini kemudian dimuat dalam 'Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 1 - 22.

 Pada bagian pendahuluan asli tulisan ini sengaja Republika.co.id  hilangkan karena keterbatasan halaman pemuatan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement