Rabu 07 Jun 2023 06:44 WIB

Sejarah Tuyul: Dari Kitab Al-Adawiyah Hingga Krisis Ekonomi pada 1930

Kemunculan Tuyul Marak Ketika Muncul Pada Krisis Ekonomi Tahun 1930

Warga Kampung Burujul 1, Kelurahan Nagarasari, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, memasang spanduk ada tuyul karena sering kehilangan uang, Sabtu (3/6/2023).
Foto:

Risiko yang dihadapi pemilik tuyul tersebut sebagaimana diberitakan majalah Tempo edisi 3 September 1983 terekam pada kitab tragis pasangan Kasmin dan Rasih dari Sidamulya, Bongas, Indramayu yang tewas karena dituduh memelihara tuyul. Kejadian ini bermula dengan banyaknya bayi yang meninggal dan diyakini masyarakat setempat sebagai imbalan yang harus dipenuh kedua pasangan suami istri ini.

Selain secara lokal di pulau Jawa hingga diketahui awal munculnya istilah “tuyul”, hasil kajian mimetik secara global dengan berpijak kepada tahun tahun 1929 juga menghasilkan pengetahuan bahwa tahun 1929 juga merupakan awal terjadinya krisis ekonomi dunia atau malaise yang juga melanda Hindia-Belanda. Krisis ekonomi dunia atau malaise ini merupakan akumulasi dari berbagai krisis ekonomi pasca meletusnya Perang Dunia I tahun 1914-1918.

Hal ini karena negara-negara yang terlibat dalam perang dunia tersebut langsung terpuruk perekonomiannya kecuali Amerika Serikat yang paling terakhir terlibat perang. Akibatnya, poundsterling, franc, mark dan sebagainya yang telah terinflasi, mengalami penurunan nilai terhadap emas dan dolar AS sehingga kekacauan moneter pun meluas ke seluruh dunia.

Jerman yang kalah dalam perang tersebut menjadi negara yang paling menderita. Nilai mata uangnya pun turun sangat tajam sehingga 1 dolar AS bernilai 4.000.000.000 (empat milyar) mark Jerman. Menurut Adolf Hitler, pemimpin Partai Nasional Sozialismus (Nazi) dalam bukunya Mein Kampf (Perjuangan Pe- nulis), kesengsaraan yang diderita Jerman salah satunya karena bangsa Yahudi yang mendominasi aktivitas ekonomi di mana-mana.

Selain Jerman, negeri-negeri Eropa lainnya yang terlibat dalam Perang Dunia I juga berbagai keterpurukan, yaitu: 1) bidang pertanian menjadi terbengkalai sehingga menimbulkan bencana kelaparan karena kurangnya persediaan bahan makanan; 2) semua bidang perindustrian dialihkan hanya untuk industri perang; 3) perdagangan antarnegara terputus karena blokade dan perang laut; dan 4) hubungan dengan daerah-daerah seberang khususnya dengan daerah-daerah koloni terputus.

Keadaan ini menguntungkan AS karena sejak itu mereka menjadi produsen dan penyedia kebutuhan terbesar di Eropa, terutama ekspor alat-alat senjata dan perlengkapan perang serta bahan makanan. Selain itu, AS juga menjadi suplier bagi negeri-negeri di Pasifik, Asia dan Australia yang sebelumnya merupakan daerah pemasaran- pemasaran negara-negara industri Eropa Barat.

AS terus menerus meningkatkan produksinya baik di bidang pertanian (bahan pangan) maupun industri dan mengekspornya ke benua ini hingga over produksi. Hal ini karena negara-negara di Eropa berhasil memulihkan kembali industri dan pertaniannya sehingga tidak memerlukan lagi barang-barang dan bahan-bahan pangan dari AS.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement