Senin 05 Jun 2023 14:24 WIB

Proposal Perdamaian Prabowo yang Ditolak Ukraina dan Dinilai Pro-Rusia oleh Pengamat

Proposal Prabowo dinilai masih bias 'great power', tapi seakan berusaha netral.

Indonesias Minister of Defense Prabowo Subianto, delivers his speech during the 20th International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue, Asia
Foto:

Peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur di Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radityo Dharmaputra, mengatakan, sikap Ukraina dalam menolak proposal perdamaian yang ditawarkan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Prabowo Subianto merupakan hal yang wajar. Sebab, dia menilai proposal itu tidak masuk akal. 

“Mengapa proposal Pak Prabowo langsung ditolak oleh Ukraina dan negara-negara Barat? Karena tidak masuk akal, tidak sesuai kondisi saat ini di lapangan, tidak mempertimbangkan konteks sejarah dan politik kawasan Eropa Timur, serta tidak sesuai prinsip Indonesia sendiri,” kata Radityo lewat akun Twitter pribadi, @RadityoDharmaP, setelah dikonfirmasi, Senin (5/6/2023).

Radityo menjelaskan, ada lima usulan yang ditawarkan Prabowo dalam proposal perdamaian tersebut. Usulan-usulan itu yakni gencatan senjata, penarikan mundur pasukan Rusia dan Ukraina sejauh 15 kilometer dari posisi serangan masing-masing pihak.

Usul berikutnya adalah pembuatan DMZ (zona demiliterisasi) di wilayah antara pasukan Rusia dan Ukraina, pembentukan pasukan penjaga perdamaian dan pemantau PBB, serta referendum di wilayah sengketa.

Soal usulan gencatan senjata, Radityo mengatakan, hal itu hanya sekadar usulan. Sebab, tidak ada yang menjamin bahwa Rusia tidak akan tetap menyerang. Menurut dia, sejak awal perang, sudah ada banyak upaya untuk melakukan gencatan senjata, terutama oleh Turki, tapi hasilnya nihil.

“Sejak awal perang, sudah ada banyak upaya ‘gencatan senjata’, terutama oleh Turki. Tercatat sejak 28 Februari 2022 sudah ada belasan kali upaya tersebut. Hasilnya nihil,” ujar dia.

Soal penarikan mundur pasukan sejauh 15 kilometer dan pembentukan zona demiliterisasi, Radityo menilai hal itu sudah terlambat. Sebab, saat ini Ukraina tengah berada di atas angin. Dia menyebutkan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy baru saja menyatakan Ukraina siap melakukan serangan balik terhadap Rusia.

“Lantas mendadak disuruh berhenti dan mundur? Jelas tidak masuk akal bagi Ukraina. Bagi Rusia, yang sekarang terdesak juga dengan krisis di wilayahnya sendiri, usulan ini masuk akal,” ujar Radityo.

Selain itu, Radityo mempertanyakan zona demiliterisasi itu didasarkan pada posisi yang mana. Jika asumsinya serangan di Belgorod menjadi bagian dari serangan balik, maka sebagian akan berada di wilayah Rusia. Jika tidak, maka seluruh wilayah zona demiliterisasi akan berada di wilayah Ukraina

“Tentu Ukraina tidak bisa menerima itu. Bagaimana mungkin negara agresor seperti Rusia dibiarkan menginvasi, lalu diberi hadiah bisa menguasai sebagian wilayah yang diambil? Selain berlawanan dengan prinsip integritas wilayah, juga malah menjadi insentif bagi negara ‘kuat’,” ujar dia. 

Kemudian, dia menilai tawaran referendum di wilayah sengketa sebagai sesuatu yang sangat keliru. Pasalnya, dia menegaskan, tidak ada wilayah sengketa dalam perang antara Rusia dan ukraina. Karena itu, dia mempertanyakan wilayah yang dimaksud oleh Prabowo.

"Kalaupun kita mau berargumen bahwa wilayah yang sedang diklaim dikuasai sebagai ‘wilayah sengketa’, bukankah kita sedang memberi hadiah pada agresor? Apakah kita sedang berargumen bahwa negara kuat boleh menginvasi, lalu nanti bisa referendum di sana?" kata Radityo.

Di sisi lain, Radityo menilai ada masalah teknis dan prinsip dalam proposal yang ditawarkan oleh Prabowo. Dia juga mempertanyakan posisi dan kepentingan Indonesia melalui proposal yang dibawa oleh Prabowo. Menurut dia, proposal itu tidak memosisikan Rusia sebagai agresor dan justru melemahkan posisi tawar Ukraina. 

"Proposal ini masih bias 'great power', tapi seakan berusaha menjadi penengah dan netral," ungkap Radityo.

Selain itu, proposal itu juga dia nilai bias karena hanya didasarkan pengalaman Indonesia dan Asia tanpa menghitung trauma sejarah Eropa Timur dan negara bekas Soviet. Imperialisme Rusia di masa Soviet tidak diperhitungkan dan Indonesia justru meminta Ukraina dengan legawa duduk bersama bekas penjajahnya. 

“Analoginya, meminta Ukraina duduk bersama Rusia tanpa ada jaminan keamanan, sama saja dengan meminta korban perkosaan duduk dan berdamai dengan pemerkosanya. Bukannya solider dan berempati, kita justru melakukan gaslighting pada korban (Ukraina) dengan mengatakan ‘ini demi wargamu’,” kata dia.

Radityo menerangkan, proposal dari Prabowo seolah melanggengkan argumen “might is right” dalam politik global dengan dalih “ini realitasnya”. “Kalau memang ini yang diinginkan maka Indonesia harus bersiap ketika nanti ada wilayah kita yang diambil, kita harus terima pembentukan DMZ dan referendum,” ujar Radityo. 

Lebih dari itu, dia menyebutkan, ketidakjelasan dan amatirnya proposal yang ditawarkan Prabowo memunculkan pertanyaan mengenai siapa penyusun proposal tersebut. Selain itu, dia juga mempertanyakan soal proposal itu sudah dikoordinasikan dengan Presiden dan Kemenlu atau belum, serta apakah proposal itu hanya “cek ombak”.

“Atau, lebih parahnya, jangan-jangan ini hanya pembentukan image menjelang Pemilu 2024? Apalagi sudah muncul narasi 'berani' seperti poster di bawah. Kalau iya, berarti celakalah kita, karena harga yang dibayar adalah reputasi Indonesia di mata dunia,” ujar dia.

 

photo
Empat Wilayah Ukraina Dicaplok Rusia - (Aljazirah/bbc)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement