Senin 29 May 2023 16:55 WIB

Bias Survei dan Kemenangan Erdogan

Kemenangan Erdogan membalikkan prediksi survei dan jajak pendapat Pilpres Turki.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berpidato di Istana Kepresidenan Turki di Antara, Turki, Ahad (28/5/2023) malam. Erdogan memenangi Pilpres Turki 2023 setelah unggul dalam putaran kedua atas lawannya, Kemal Kilicdaroglu.
Foto: AP Photo/Ali Unal
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berpidato di Istana Kepresidenan Turki di Antara, Turki, Ahad (28/5/2023) malam. Erdogan memenangi Pilpres Turki 2023 setelah unggul dalam putaran kedua atas lawannya, Kemal Kilicdaroglu.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Jaramaya, Wahyu Suryana, Amri Amrullah, Dwina Agustin, Anadolu Agency

Recep Tayyip Erdogan keluar sebagai pemenang Pilpres Turki 2023 melalui putaran kedua pemilu yang digelar pada Ahad (28/5/2023) waktu setempat. Hasil ini di luar prediksi banyak kalangan karena jelang pemilihan berbagai lembaga survei selalu menempatkan lawannya, Kemal Kilicdaroglu, di posisi unggul.

Baca Juga

Pada pemilu putaran pemilu, 14 Mei 2023 lalu, raihan suara Erdogan juga membalikkan hasil jajak pendapat dan survei yang sebelumnya menyebutkan Erdogan tertinggal di belakang Kilicdaroglu. Dalam survei yang dilakukan pada 6-7 Mei, lembaga survei terkemuka Konda menyatakan, dukungan untuk Kilicdaroglu mencapai 49,3 persen. Sementara dukungan bagi Erdogan mencapai 43,7 persen.

Survei lain oleh perusahaan riset politik Gezici menunjukkan Kilicdaroglu unggul 1 poin dari Erdogan dengan 46,9 persen. Jurnalis Aljazirah, Sinem Koseoglu, yang melaporkan dari Istanbul mengatakan, secara umum jajak pendapat tidak terlalu dapat diandalkan di Turki.

“Sebelum pemilihan, banyak lembaga survei yang dikritik dan dituduh menunjukkan afiliasi dengan partai atau pemimpin tertentu. Di satu sisi, (pemilihan) ini menunjukkan kepada kita bahwa lembaga survei dipolitisasi dan mereka mencoba memengaruhi pemilih,” ujar Koseoglu.

Salah satu dari sedikit jajak pendapat yang memprediksi kemenangan Erdogan adalah Optimar, yang dilihat oleh banyak orang sebagai lembaga yang condong ke pemerintah. Dalam jajak pendapat tersebut diperkirakan Erdogan akan memenangkan mayoritas surara langsung sebanyak 50,4 persen.

 

Direktur Eksekutif Populi Center, Afrimadona, Senin (29/5/2023), mengatakan, ada beberapa faktor yang memengaruhi survei terkadang meleset dari yang diprediksi. Salah satu faktor yang paling penting bias dalam survei itu sendiri.

Bias itu bisa dalam proses sampling responden atau bias yang disebabkan proses pengambilan data di lapangan. Sebab, cara menjawab sangat ditentukan cara bertanya, beberapa pertanyaan tertentu bisa dianggap sensitif.

Atas adanya bias-bias survei itu, kata Afrimadona, orang-orang cenderung tidak jujur dalam menjawab. Ini terjadi di pemilihan umum di AS ketika pemilih Donald Trump banyak yang tidak mengaku. Tetapi, ketika hari pemilihan tiba mereka semua memilih Trump.

"Kenyataannya, pada hari pemilihan mereka ke luar memilih Trump terjadi pula di Pilkada DKI Jakarta," kata Afrimadona kepada Republika, Senin (29/5/2023).

Ia menerangkan, dalam melakukan survei ada bias perkotaan, ada yang tidak mau dihubungi, ada pula yang tidak mau menjawab. Dalam statistik yang tidak menjawab tidak bisa cuma diperlakukan sebagai missing value.

Afri berpendapat, faktor-faktor seperti ini sangat mungkin memengaruhi lembaga-lembaga survei salah memprediksi. Selain itu, ia mengingatkan, survei sangat dinamis dan cuma merepresentasikan kondisi saat survei.

Di Indonesia, misalnya, ketika Presiden Joko Widodo bertemu tokoh lain atau berfoto bersama tokoh lain, persepsi publik sangat bisa mengalami perubahan. Menurut Afri, faktor-faktor dinamis seperti ini harus bisa dipahami publik.

"Survei merepresentasikan publik pada periode survei ini diambil," ujar Afrimadona.

Maka itu, ia menekankan, survei perlu dilakukan berkala untuk melihat public mood terhadap calon-calon tertentu. Dalam membaca survei pun diperlukan kehati-hatian, tidak bisa dimaknai sebagai sesuatu yang bisa direkayasa.

Bahkan, tidak jarang politisi-politisi meminta diberikan angka lebih tinggi. Padahal, Afri menegaskan, survei tidak bisa seperti itu karena lembaga survei cuma mencoba memotret apa yang terjadi di lapangan.

"Kita perlu cukup dewasa memahami survei yang dinamis, sangat bisa berubah dan dipengaruhi faktor-faktor tertentu. Karenanya, metodologi betul-betul perlu diperiksa kita sebagai pembaca survei," kata Afri. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement