Jumat 26 May 2023 14:12 WIB

Putusan Perpanjangan Masa Jabatan Langsung Berlaku untuk Firli dkk, Ini Penjelasan MK

Firli Bahuri dkk akan menjabat sebagai pimpinan KPK sampai 2024.

Rep: Rizky Suryarandika, Flori Sidebang, Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Ketua KPK Firli Bahuri (kiri) bersama Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (kanan) menyapa wartawan sebelum memberikan konferensi pers akhir tahun Kinerja dan Capaian KPK 2022 di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (27/12/2022). KPK menyatakan telah melaksanakan sejumlah kegiatan diantaranya 113 penyelidikan, 120 penyidikan, 121 penuntutan, 121 perkara Inkracht, dan mengeksekusi putusan 100 perkara serta menetapkan 149 tersangka dari perkara penyidikan.
Foto:

Anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menerima gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK membingungkan. Sebab, mengubah masa jabatan pimpinan sebuah lembaga negara seharusnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, dalam hal ini adalah DPR dan pemerintah.

Sebelum adanya putusan MK tersebut, masa jabat pimpinan KPK diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dijelaskan, pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.

"Cukup surprised putusan MK, butuh penalaran ekstra apakah yang diputuskan tersebut memang substansi konstitusional atau sebaliknya dari sebuah norma atau MK sengaja membuat norma yang secara konstitusional menjadi kewenangan pembentuk UU," ujar Didik saat dihubungi, Jumat (26/5/2023).

"Apakah implikasi putusan tersebut ke depan terhadap berbagai pengaturan kebijakan hukum terbuka yang dimiliki pembentuk UU yang mengatur hal serupa, jika dihadapkan kepada kewenangan MK sebagai final interpretator UUD?" sambung Didik bertanya.

Putusan yang memperpanjang masa jabat pimpinan KPK dinilainya melampaui kewenangan MK. Apalagi, objek putusan tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, di mana kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.

"Pembentuk undang-undanglah yang diberikan hak dan kebebasan untuk merumuskan politik hukum dan menentukan norma hukumnya," ujar Didik.

Jelasnya, suatu kebijakan pembentukan hukum dapat dikatakan bersifat terbuka manakala Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau konstitusi sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh undang-undang.

Namun jika ratio decidendi atau alasan putusan MK ini dititikberatkan kepada alasan keadilan, ia mempertanyakan putusan MK lain yang serupa. Salah satunya adalah putusan terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang justru tak menggambarkan keadilan.

"Saya paham, MK sebagai the guardian of constitution diartikan bahwa MK sebagai pengawal konstitusi. Sedangkan, MK sebagai the final interpreter of constitution diartikan bahwa tidak ada institusi lain yang berwenang menafsirkan konstitusi kecuali MK," ujar Didik.

"Jika melihat kewenangan besar yang dimiliki oleh MK, harusnya MK tidak boleh bertindak sebagai tirani justitia yang bisa merugikan kepentingan dan konstitusional yang lebih besar. MK harus menjadi constitutional court dan bukan interest court atau bahkan political court," sambung politikus Partai Demokrat itu.

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menghormati MK yang memutuskan menerima gugatan Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Namun, ia menilai bahwa putusan tersebut mempunyai konsekuensi hukum terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Sebab, masih ada perdebatan apakah putusan MK tersebut berlaku kepada pimpinan KPK saat ini atau periode berikutnya. Putusan ini juga tentu membuka peluang kembali direvisinya UU KPK, khususnya yang berkaitan dengan masa jabatan pimpinan KPK.

"Terkait dengan putusan MK itu sendiri, saya melihat berarti perlu segera ada revisi UU KPK lagi. Selain tentunya kami harus mendiskusikan apakah putusan MK ini berlaku untuk KPK periode sekarang atau periode ke depan," ujar Arsul saat dihubungi, Kamis (25/5/2023).

 

photo
Kontroversi Firli Bahuri - (Infografis Republika)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement