Menurut Adib, aspek sosial, pendidikan, hingga insentif tenaga kesehatan di kawasan terpencil merupakan permasalahan kompleks. Itu tidak bisa diselesaikan dengan tunjangan kesejahteraan.
"Kemarin saya ke Maluku Utara, bahkan dokter spesialisnya dapat tunjangan Rp 60 juta. Tapi, yang mau ke sana susahnya minta ampun," katanya.
Aspek jaminan keamanan di wilayah rawan konflik juga menjadi pertimbangan tenaga medis untuk program pemerataan layanan kesehatan. Di Papua, IDI memiliki 700 calon dokter dari mahasiswa kedokteran Universitas Cendrawasih yang sebagian besar putra daerah.
"Mereka siap bekerja di Papua dan itu lebih mudah karena mereka orang lokal daripada harus mengirim dokter dari daerah lain," katanya.