Selasa 16 May 2023 22:25 WIB

Bareskrim Sebut Ada Celah di Imigrasi Terkait Kasus TPPO 20 WNI di Myanmar

Para korban scaming online ini menargetkan warga-warga Amerika dan Eropa.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus raharjo
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhandani Rahardjo Puro.
Foto:

Para pekerja dijanjikan bonus atau komisi tambahan di luar upah kerja, jika kerja-kerja markating yang dilakukan mencapai target. “Jam kerja yang ditawarkan selama 12 jam per hari dan 6 bulan sekali boleh cuti dan dapat kembali ke Indonesia,” ujar Djuhandani.

Akan tetapi, setibanya para pekerja itu di Bangkok, pihak penampung di Negeri Gajah Putih itu memberikan kontrak kerja dengan bahasa Cina. “Yang itu tidak dimengerti isi kontrak dalam bahasa tersebut,” ujar Djuhandani.

Dari celah bahasa dalam kontrak tersebut, membuka peluang terjadinya eksploitasi terhadap para pekerja asal Indonesia itu. Karena itu realisasi tawaran kerja semula yang ditawarkan menjadi operator marketing online di Bangkok, berujung pada profesi penipuan dan pencurian data daring atau scaming online di Myanmar.

“Setelah dari Jakarta tiba di Bangkok, pekerja Indonesia ini dibawa ke wilayah perbatasan Thailand dan Myanmar, di Maysot,” kata Djuhandani.

Para pekerja Indonesia, itu pun dibawa dengan cara ilegal untuk masuk ke negara junta militer tersebut. Selanjutnya eksploitasi para pekerja Indonesia itu pun mulai dilakukan dengan memaksa para tenaga imigran itu melakukan profesi yang tak sesuai janji awal. Akan tetapi dipekerjakan sebagai pencuri, dan penipu daring melalui internet.  

“Perusahaan scaming online penampung pekerja Indonesia itu perusahaan milik warga Cina yang ditempatkan satu tempat yang khusus dan tertutup dan dijaga oleh orang-orang bersenjata,” terang Djuhandani.

Di markas scaming online itu, para pekerja Indonesia menjalani profesi paksa selama 16 jam sehari. “Mereka bekerja dari pukul 20:00 malam, sampai pukul 14:00 siang pada hari berikutnya. Jadi mereka bekerja selama 16 jam kadang sampai 18 jam,” terang Djuhandani.

Dalam realisasi pengupahan juga tak sesuai dengan janji awal. Karena dikatakan dia, dari keterangan para korban, mereka hanya mendapatkan upah tak sampai Rp 3 juta. Upah tersebut, hanya diberikan awal.

“Karena pada bulan-bulan berikutnya, pekerja Indonesia itu tidak digaji sama sekali,” terang Djuhandani.

Dalam hal situasi pekerjaan selama pengalaman para pekerja juga tak manusiawi. Karena, para pekerja dipaksa untuk mencapai target tertentu dalam setiap melakukan scaming online melalui media sosial (medsos) Facebook dan Instagram.

“Jika tidak sesuai target, pekerja Indonesia akan mendapat hitungan potongan gaji dan tidak jarang terjadi pemukulan, dan kekerasan fisik lainnya. Juga ada yang mendapatkan perlakuan pengurungan di tempat yang khusus,” ujar Djuhandani.  

Dalam pekerjaan scaming online tersebut, menurut Djuhandani, modus operandi dalam bisnis ilegal tersebut dengan cara melakukan kontak sambung melalui aplikasi media sosial, dan juga call massage, ataupun video call terhadap targetnya.

Djuhandani mengatakan, dari komunikasi tersebut, manakala dari korban (scaming) ingin melakukan video call, maka pekerjanya menyajikan video-video model dari Rusia, ataupun model-model dari Cina yang sudah disiapkan. Para korban scaming online ini menargetkan warga-warga Amerika dan Eropa.

 

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement