Rabu 10 May 2023 04:29 WIB

Mencari Hamka yang Tak Mau Poligami di Kauman Padang Panjang

Hamka pindah ke Padang Panjang karena menolak perintah poligami dari ayahnya.

Bung Hatta, Pakiah Saleh Eks Dogoelis, dan Buya HAMKA Tahun 1970.
Foto:

Setahun, setelah kembalinya HAMKA ke Kauman, Tabligh School kembali aktif. Dan, HAMKA resmi kembali mengajar di sekolah yang pernah ia besarkan itu. Kondisi pembelajaran Tabligh School masa itu masih minim sarana. Duduk bersila di atas tikar. Murid-murid Tabligh School tahun 1935 pun menuturkan kesaksiannya, ketika belajar dengan HAMKA.

 “Noen... disana disoedoet sekolah Aisjijah yang sebelah ke belakang. Kalau saoedara-saoedara pergi ke sana akan bertemoelah dengan seboeah kamar besar, dengan lantainja yang terdoengkat-djoengkat. Di tempat itoelah dikamar itoe benarlah kami doedoek bersila beladjar dengan HAMKA,” (Haskiem dan Naiem, 1946).

Beberapa bulan kemudian, Conferentie Muhammadiyah Daerah Minangkabau ke-9 memutuskan untuk menukar nama Tabligh School dengan Kulliyatul Muballighien (1936). Bersama Haji Rasul, A.R Sutan Mansur ia pun didaulat sebagai guru utama di Kulliyatul Muballighien pada tahun 1936. 

Selama mengajar di Kulliyatul Muballighien, HAMKA masih aktif menulis. Satu karya lahir dari tangannya, yakni Di Bawah Lindungan Ka’bah.  

Sepuluh bulan kemudian, atau tepatnya Desember 1936 HAMKA memutuskan memboyong Siti Raham dan Rusjdi pindah ke Medan. Putusan HAMKA meninggalkan Padang Panjang, yang banyak menyimpan memori untuknya, menjadi tanda tanya besar. Apa penyebabnya?.

Rumor tidak sedap pun beredar. Ada yang mengatakan, dalam diri HAMKA sudah tertanam jiwa sastra dan tidak mungkin ia kembangkan di Padang Panjang. Di lain pihak, ada yang hembuskan desas-desus karena honorarium mengajar di Kulliyatul Muballighien tidak sebanding dengan honornya, bila ia memimpin Pedoman Masjarakat di Kota Medan. 

HAMKA kemudian menampik semua desas-desus itu, di tahun 1939. Ia mengungkap di ujung tahun 1936 harus mengambil pilihan yang sulit, antara menolak, atau mentaati perintah Haji Rasul untuk berpoligami. 

“Almarhum ayahku Dr. H.A. Karim Amrullah memaksaku, agar aku beristri seorang lagi (berpoligami); hal ini amat berat bagiku akan menerimanya.”. demikian ungkap HAMKA pada Agus Hakim (Solichin Salam, 1978: 61). 

Ia tidak menolak dasar hukum poligami. Namun, trauma perceraian antara ibunya dengan Haji Rasul, menjadi satu sebab HAMKA menolak permintaan dalam diamnya. “Ibuku yang menderita akibat ayahku beristri banyak. Nasib kami anak-anak yang kadang kurang terurus, karena ayah asyik menghabiskan hari dengan tipak dan giliran istrinya,” ungkap HAMKA lebih lanjut pada muridnya itu. 

Rupanya permintaan Haji Rasul, bertepatan dengan surat dari M. Rasami dan Bustami Ibrahim yang memintanya untuk memimpin majalah Pedoman Masjarakat milik mereka. “... Saya terpaksa meninggalkan Minangkabau tanpa pamit dengan ayahku dan kakakku A.R Sutan Mansur, serta teman-teman, dan murid-murid yang dicintai dan mencintai.”. jelas HAMKA.

Namun sejauh HAMKA merantau, ia kembali mendarat di Padang Panjang. Di awal kemerdekaan, ia sudah didaulat memimpin Muhammadiyah Minangkabau, terlibat dalam pembentukan Hizbullah,  Front Pertahanan Nasional (FPN), Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), duduk sebagai utusan Masjumi di Konstituante, dan ditahan oleh pemerintah pusat karena dituduh terlibat PRRI. 

Nama HAMKA memang beberapa kali muncul sebagai guru utama di Kulliyatul Muballighien, S.G.A.A, Fakultas Falsafah dan Hukum, serta Fakultas Ilmu Agama. Namun kesibukannya dalam beraktivitas, HAMKA lebih sering menjadi guru utama ataupun sebagai dosen luar biasa di dua fakultas tersebut. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement