Senin 24 Apr 2023 21:09 WIB

Bagaimana Indonesia Keluar dari Inflasi dan Krisis Pangan?

Di kantong-kantong sentra produksi pangan perlu dibangun ekosistem hulu-hilir.

Petani memanen padi di lahan persawahan di Cisaranten Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/3/2023). Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) secara resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di tingkat petani menjadi Rp5.000 per kilogram dari HPP semula Rp4.200 per kilogram.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Petani memanen padi di lahan persawahan di Cisaranten Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/3/2023). Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) secara resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di tingkat petani menjadi Rp5.000 per kilogram dari HPP semula Rp4.200 per kilogram.

Oleh Muhammad Firdaus, Profesor Ilmu Ekonomi, IPB University

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Jokowi menggambarkan 2023 sebagai tahun gelap. Pengaruh ekonomi dunia terhadap Indonesia cukup kuat, terutama imbas perang Rusia-Ukraina dan isu geopolitik global lain yang mengakibatkan kenaikan harga energi, input pertanian, dan pangan impor. 

Di 2023, NCEP di AS meramalkan mulai semester kedua di Indonesia akan terjadi kemarau panjang. Pemahaman dan berbagai upaya antisipasi perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul, yaitu ancaman inflasi dan krisis pangan.

Salah satu indikator krisis pangan adalah jika harga naik di atas 50 persen, seperti pada 2008 dan 2022, di mana harga pangan global naik jauh di atas 50 persen. Pada 2008, krisis terjadi akibat El Nino sejak 2005-2006 sehingga cadangan pangan menurun dari 2007. 

Pada 2021 dan 2022, meskipun dampak iklim memegang peranan, pengaruh geopolitik memiliki andil lebih besar, terutama karena naiknya harga input pertanian. Di Indonesia, pengaruh kirsis dari sisi suplai dan permintaan pangan sangat besar terhadap inflasi. 

Fluktuasi harga yang tinggi dapat menyebabkan kondisi ekonomi sulit diprediksi sehingga pengendalian inflasi menjadi penting untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Maka antisipasi terhadap krisis pangan perlu diupayakan. 

Jika abai, goncangan stok pangan memicu kenaikan harga barang secara umum (volatile food inflation). Produksi pangan Indonesia sebagian besar berasal dari lahan pertanian terbuka skala kecil, di mana petani berproduksi dengan bergantung pada kondisi alam. 

Di sisi permintaan, dengan kondisi ekonomi yang mulai pulih seiring meredanya kasus Covid-19, konsumsi pangan terus meningkat. Wisata kuliner pun semakin berkembang pesat, baik di kota besar maupun kota-kota satelit. 

Jika konsumsi pangan ini tidak diimbangi  peningkatan ketersediaan di pasar, tentu memicu kenaikan harga yang signifikan. Merespon situasi di atas, terdapat lima alternatif jalan keluar dari ancaman krisis pangan yang berpotensi menyebabkan inflasi tinggi. 

Pertama, di kantong-kantong sentra produksi pangan perlu dibangun ekosistem hulu-hilir. Dari sisi hulu, adopsi teknologi merupakan keharusan, khususnya teknologi yang membawa efisiensi input pertanian. 

Untuk menghasilkan 1 kg gabah, petani di Indonesia mengeluarkan biaya dua kali dari petani di Vietnam. Dari sisi biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk misalnya, dengan teknik pengembalian jerami padi ke tanah selama enam musim tanam berturut-turut dapat menurunkan penggunaan pupuk anorganik sampai sepertiga. 

Selain penggunaan seperti urea yang sering melebihi rekomendasi teknis, petani mengeluarkan biaya tinggi untuk penanganan hama dan penyakit tanaman. 

Pestisida menyebabkan petani “kecanduan” dan tidak lagi digunakan untuk tindakan yang bersifat pengendalian atau digunakan hanya saat diperlukan. Teknologi untuk mengurangi penggunaan pestisida kini sudah tersedia. 

Sebagai contoh, reduktan yang diciptakan Pandawa Agri, usaha anak milenial di Banyuwangi, dapat mengurangi volume penggunaan sampai 50 persen. Teknologi ini dapat menurunkan biaya hingga 40 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement