Kamis 13 Apr 2023 09:09 WIB

MK Diharapkan Bisa Pertahankan Sistem Proporsional Terbuka

Rakyat diberikan kesempatan untuk menentukan wakilnya yang pantas di parlemen.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto (tengah) bersama sejumlah Hakim Konstitusi mendengarkan sumpah yang diambil dari ahli pemohon saat sidang uji Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konsitusi, Jakarta, Kamis (20/10/2022). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan dari dua ahli pemohon.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto (tengah) bersama sejumlah Hakim Konstitusi mendengarkan sumpah yang diambil dari ahli pemohon saat sidang uji Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konsitusi, Jakarta, Kamis (20/10/2022). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan dari dua ahli pemohon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem pemilihan umum proporsional terbuka dinilai paling tepat diberlakukan saat ini mengikuti dinamika dan sistem demokrasi di Indonesia. Dikarenakan sistem ini melibatkan partisipasi aktif rakyat di berbagai daerah khususnya daerah pemilihan (dapil). 

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Eman Sulaeman Nasim, mengatakan sistem pemilu proporsional terbuka menuntut setiap calon anggota DPRD atau DPR (caleg) lebih dekat dengan konstituen dan dapilnya. Selain itu rakyat dapat berperan aktif menentukan wakil-wakilnya yang pantas menyuarakan aspirasi mereka di lembaga legislatif. 

"Karena itu para tokoh masyarakat dan cendekiawan bidang hukum yang saat ini duduk dan mengemban amanah sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan lebih banyak menggunakan hati nuraninya sekaligus memperhatikan secara detail aspirasi yang berkembang di masyarakat," ujarnya di Jakarta, Kamis (13/4/2023).

Saat ini sidang lanjutan pengujian Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di MK masih berlangsung, untuk menentukan apakah tetap menggunakan sistem proporsional terbuka atau tidak. "Sebagian besar masyarakat menginginkan agar pemilu tahun 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka," katanya menambahkan. 

Alumni Program Pendidikan Kepemimpinan Strategis Tingkat Nasional/ Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 64 Lemhannas ini mengatakan sistem pemilihan proporsional terbuka merupakan cara memilih yang benar-benar menghargai aspirasi rakyat. Rakyat diberikan kesempatan untuk menentukan wakilnya yang pantas di parlemen. 

Sistem ini, ujarnya menegaskan, sudah terbukti melibatkan peran aktif warga atau rakyat. Lewat sistem ini pula, setiap calon anggota DPRD maupun DPR dituntut untuk lebih dekat dan mendengarkan aspirasi dan keluh kesah rakyat yang akan memilih. 

"Jadi sudah sepantasnya wakil rakyat itu harus popular, dikenal oleh masyarakat yang memilihnya dan mengenal dapilnya,” kata Eman menambahkan.

Sistem proporsional terbuka, ujar Eman lagi, tidak melanggar atau bertentangan dengan undang-undang manapun. Karena dalam pemilu yang menggunakan sistem ini tetap mengedepankan peran penting parpol. Parpol yang menyeleksi siapa saja kader yang pantas menjadi bakal calon anggota legislatif (Bacaleg). Nomor urut pun ditentukan oleh parpol khususnya elite parpol. 

"Jika sistem proporsional tertutup yang diputuskan, otomatis hanya elite partai yang sedang berkuasa yang memutuskan," ucapnya menegaskan. "Rakyat hanya dijadikan obyek penderita, karena rakyat tidak diberikan kesempatan untuk memilih siapa caleg yang pantas mewakili mereka."

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement