REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Pers Dewan Pers Paulus Tri Agung Kristanto menilai sebagian dari kelompok Generasi Z memiliki kesadaran untuk menguji kebenaran informasi yang berasal dari media sosial. Mereka menggunakan media arus utama sebagai rujukan.
"Tidak sedikit yang menguji validitasnya, menguji kebenarannya dengan menggunakan media-media arus utama. Dan ini yang harus dipahami juga oleh para pimpinan media arus utama," kata Agung saat dijumpai media di Jakarta, Senin (10/4/2023).
Menurut Agung, kelompok generasi muda ini memang lebih digital savvy atau melek teknologi digital dan menggunakan perangkat smartphone mereka untuk mendapatkan informasi melalui media sosial. Apalagi hal ini juga didukung oleh keberadaan media arus utama yang saat ini memanfaatkan media sosial bukan hanya untuk pendistribusian konten melainkan juga menjadikannya sebagai wadah baru.
"Hari ini nyaris tidak ada lagi media yang tidak menggunakan Instagram misalnya untuk men-deliver konten (berita) maupun menjadikan itu sebagai platform medianya. Generasi Z makin banyak yang berinteraksi dengan media," kata Agung.
Walaupun media sosial menjadi sumber informasi pertama yang diakses Gen Z, Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI) Sofyan Herbowo mengingatkan saat ini sudah banyak media arus utama yang memproduksi konten dengan standar jurnalistik yang kemudian dipublikasikan melalui media sosial. Oleh sebab itu, media arus utama tetap memiliki peranan penting.
Survei dari agensi public relations Praxis menunjukkan bahwa Instagram (77 persen), YouTube (68 persen), Twitter (64 persen), dan TikTok (63 persen) merupakan platform sumber informasi yang paling sering dikonsumsi Gen Z. Media daring, dalam hal ini pers arus utama, juga menjadi sumber informasi yang diakses Gen Z sebanyak 54 persen. Selain itu, Gen Z juga percaya bahwa kelengkapan informasi yang didapatkan (81 persen) lebih penting dibandingkan aspek kecepatan informasi (28 persen).
"Karena mereka sudah dibanjiri begitu banyak informasi, buat mereka kecepatan sudah nggak menjadi penting lagi. Yang penting itu tadi, akurasi dan kelengkapan informasi," kata Sofyan.
Sofyan juga menilai bahwa Gen Z cenderung memiliki kesadaran dan perhatian mengenai isu-isu yang terjadi termasuk isu penegakan hukum. Ini juga didukung oleh survei Praxis, menunjukkan bahwa 90,80 persen Gen Z merasa penegakan hukum eksekutif pemerintah pusat di Indonesia masih belum memuaskan.
"Mereka punya cukup literasi untuk memilah, memilih, terus kemudian menerapkan standar moral yang tinggi atas fenomena yang terjadi," kata dia.
"Jadi apa informasinya sama dia dipilih, dipilah. Terus dia terapkan standar moral, 'saya tuh ada di sini, saya nggak akan ikut yang buruk-buruk'. Kira-kira begitu. Dan di Gen Z, kita punya banyak harapan," kata Sofyan.