Ahad 09 Apr 2023 02:36 WIB

Dosa Pembatalan Tuan Rumah Piala Dunia U-20 dan Pergeseran Peta Pilpres 2024

Kekecewaan pembatalan tuan rumah Piala Dunia U-20 memunculkan pergeseran dukungan.

Suporter sepak bola Indonesia melakukan aksi 1.000 lilin di halaman Gedung Joang 45, Jakarta, Selasa (4/4/2023). Aksi tersebut sebagai bentuk kekecewaan sejumlah suporter atas dibatalkannya perhelatan Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Suporter sepak bola Indonesia melakukan aksi 1.000 lilin di halaman Gedung Joang 45, Jakarta, Selasa (4/4/2023). Aksi tersebut sebagai bentuk kekecewaan sejumlah suporter atas dibatalkannya perhelatan Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID,  Beranggapan bahwa pembatalan penyelenggaraan Piala Dunia U20 di Indonesia tidak berdampak terhadap dinamika elektoral kandidat calon presiden (capres) tentu naif. Nyatanya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo lebih disorot publik dibandingkan Gubernur Bali I Wayan Koster. Mengapa? Karena kandidat bakal capresnya Ganjar, bukan Koster. Artinya, pembatalan tersebut punya magnet politik besar.

Dua tokoh PDIP itu diketahui menjadi dua kepala daerah yang menolak Timnas Israel tanding di wilayahnya masing-masing. Sikap mereka kemudian ditafsir publik sebagai pemicu utama bagi FIFA menjatuhkan keputusan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20. Gelombang sentimen negatif dari para pecinta sepak bola terhadap keduanya, khususnya terhadap Ganjar, terus bergulir dan membesar.

Pertanyaan yang menjadi penting untuk dijawab dalam konteks  Pilpres 2024 adalah, seberapa dalam potensi tergerusnya elektabilitas Ganjar? Kemudian, sampai kapan pembatalan ini menjadi topik pembahasan sehingga terus mengingatkan publik tentang adanya ‘andil’ Ganjar? Dua pertanyaan ini yang tak bisa diterka serampangan. Butuh riset kuantitatif untuk menjawabnya. Mungkin beberapa waktu ke depan, hasil risetnya akan keluar dari beberapa lembaga survei.

Tetapi setidaknya saat ini kita sudah bisa melihat dengan berangkat dari data yang sudah ada. Dalam survei nasional yang dilakukan Alvara Research Center pada 2018, semua generasi sebagian besarnya menyatakan suka berolahraga, mulai dari Gen Z (81,7 persen), Milenial (72,9 persen), Gen X (65,9 persen), hingga Baby Boomer (62,6 persen). Artinya, masyarakat Indonesia mayoritas gemar berolahraga.

Jika dibedah lebih dalam, dari 62,6 persen Baby Boomer yang gemar berolahraga, sebanyak 26,6 persen di antaranya menyatakan sepak bola sebagai olahraga favorit, disusul badminton dan bersepeda yang masing-masing 19,6 persen. Sedangkan Gen X, sebanyak 40,3 persen dari yang gemar berolahraga menyatakan bahwa sepak bola adalah olahraga favorit, disusul badminton di peringkat kedua.

Generasi Milenial lebih banyak lagi. Sebanyak 44,5 persen menyatakan sepak bola/futsal sebagai olahraga favorit, disusul lari dan badminton di tempat kedua dan ketiga. Sedangkan Gen Z, generasi yang sekarang mendominasi jumlah penduduk Indonesia, menyatakan lebih dari separuh atau 50,7 persen menyatakan sepak bola/futsal sebagai olahraga favorit.

Dan yang perlu diingat, dalam sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, sebanyak 27,94 persen adalah Gen Z. Proporsi terbanyak kedua adalah Milenial dengan 25,87 persen. Artinya, hampir 54 persen populasi penduduk Indonesia adalah Gen Z dan Milenial yang sangat gandrung dengan sepak bola.

Meski sebagian Gen Z pada Pemilu 2024 belum memiliki hak pilih, tetapi jumlah pemilih Milenial dengan Gen Z masih lebih dari 50 persen dari total pemilik suara sah pada Pemilu 2024. Artinya, dengan data di atas, hampir pasti, keputusan FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 akan mengubah peta elektoral.

Wapres penentu

Dengan paparan data di atas, elektabilitas Ganjar sangat mungkin akan terkoreksi. Ini berarti, margin atau selisih elektabilitas di antara ketiga kandidat terkuat, yakni Ganjar, Prabowo, dan Anies menjadi kian rapat. Artinya, kompetisi akan semakin menarik. Persoalannya apa yang menjadi penentu kemenangan dalam persaingan?

Dari ketiga kandidat capres dengan elektabilitas terkuat tersebut, belum ada satu pun pembahasan yang mengerucut pada siapa yang menjadi cawapres masing-masing. Saya melihat lebih karena mereka sedang mengalkulasi detail, dan hati-hati. Tidak adanya dominasi dalam peta elektabilitas cawapres membuat sosok cawapres akan sangat menentukan ke mana angin membawa suara masyarakat untuk dilabuhkan.

Itu pula yang membuat Anies dan tim tak buru-buru mengiyakan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres, selain karena memang elektabilitasnya yang tidak cukup signifikan. Isu yang santer terdengar justru adanya upaya tim Anies melobi Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk dijadikan cawapres.

Khofifah memang seksi secara elektoral. Pertama, dia perempuan. Dia juga ketua Muslimat Nahdlatul Ulama (NU). Massanya banyak. Namanya di beberapa survei pun muncul dengan elektabilitas yang lumayan. Tidak ada perempuan dengan elektabilitas setinggi Khofifah sampai saat ini. Dan, jangan lupa, dalam dua pilpres terakhir, data menunjukkan bahwa provinsi paling timur Pulau Jawa menjadi penentu kemenangan. Jatim adalah basis NU. Soal ini, detailnya ada dalam tulisan saya sebelumnya dengan judul “Pilpres 2024, Berebut Nahdliyyin dan Peluang Jawa Barat”.

Prabowo juga sempat bertemu dengan Khofifah di Surabaya. Pertemuan mereka jelas memunculkan spekulasi. Di lain waktu, Prabowo pun sempat diisukan akan dipasangkan dengan Ganjar setelah Presiden Jokowi mengajak keduanya dalam seremonial panen raya beberapa waktu lalu. Spekulasi-spekulasi itu tentu membuat Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar meradang. Cak Imin bahkan sempat melontarkan pernyataan akan putus koalisi dengan Gerindra jika Prabowo tak menggandengnya sebagai cawapres.

Sedangkan Ganjar, masih menunggu keputusan dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk dicalonkan. Dengan asumsi Megawati memilih Ganjar sebagai capres, PDIP sebenarnya bisa mengusung satu pasang tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain. Tetapi, beberapa politikus PDIP menyatakan, partai kepala banteng itu tetap akan berkoalisi dengan parpol lain.

Siapa cawapres yang akan berpasangan dengan tiga kandidat terkuat capres di atas tentu masih sangat dinamis dan bergantung proses politik ke depan. Namun dalam beberapa kali survei Indikator Politik Indonesia yang digawangi Burhanuddin Muhtadi, melalui sejumlah simulasi cawapres 18 nama, sembilan nama, hingga diperas menjadi lima nama, ada perubahan elektabilitas. Dalam simulasi 18 nama cawapres, nama seperti Ridwan Kamil, AHY, dan Erick Thohir bersaing cukup ketat.

Namun secara tren, dukungan terhadap cawapres tidak banyak berubah, kecuali untuk Erick yang mengalami peningkatan. Sementara pada simulasi sembilan nama, dukungan ke Erick menguat dan paling besar. Erick naiknya cukup tajam dari 10 persen jadi 14,5 persen. Dari empat nama yang mengalami kenaikan, Erick menunjukkan kenaikan cukup signifikan.

Peta koalisi Pilpres 2024 sampai saat ini masih sangat cair dan dinamis. Bahkan, belakangan muncul wacana pembentukan koalisi besar. Merger antara Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Artinya, lima partai politik akan bersatu jika wacana itu terealisasi. Apalagi kalau PDIP akan berada di dalamnya.

Jika mereka bersatu, otomatis hanya akan ada dua kontestan yang bertanding, yakni Anies Baswedan yang diusung Koalisi Perubahan dengan calon dari koalisi besar. Tetapi, di antara partai koalisi pendukung pemerintahan saat ini, masih ada silang pendapat yang tajam dalam wacana pembentukan koalisi besar tersebut. Terutama terkait pemilihan capres-cawapres yang diprediksi rumit dan alot, bahkan sangat mungkin akan deadlock.

Yang pasti, akrobat-akrobat politik masih akan terus terjadi sebelum pasangan capres-cawapres didaftarkan ke KPU hingga batas akhir pada November tahun ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement