Kamis 30 Mar 2023 21:30 WIB

Pembentukan 38 Kodam Baru Dipertanyakan

Komponen militer seharusnya dikurangi, dan hanya diperkuat di wilayah tertentu saja.

Pengamat Politik yang juga merupakan eksponen Gerakan mahasiswa 1998, Ray Rangkuti, saat berbicara dalam Diskusi Publik Imparsial dengan tema
Foto: istimewa/doc humas
Pengamat Politik yang juga merupakan eksponen Gerakan mahasiswa 1998, Ray Rangkuti, saat berbicara dalam Diskusi Publik Imparsial dengan tema

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  — Pengamat Politik yang juga merupakan eksponen Gerakan mahasiswa 1998, Ray Rangkuti menilai jika melihat kembali ke masa Orde Baru sebelum tahun 1998, peran TNI terlihat sangat dominan dan hadir di hampir semua sektor.

"Tidak hanya berfungsi sebagai alat negara untuk aspek pertahanan dan keamanan, TNI turut menjalankan berbagai fungsi politik dan masuk ke ranah sipil, bahkan mengambil alih berbagai fungsi yang menjadi tanggung jawab kepolisian,” kata Ray, dalam siaran pers, Kamis (30/3/2023).

Hal ini disampaikan Ray Rangkuti pada  Diskusi Publik Imparsial dengan tema  "Pembentukan Kodam untuk 38 Provinsi Tidak Urgen, Bertentangan dengan Amanat Reformasi TNI dan Memperkuat Politik Militer”.

Diskusi ini menyikapi Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto telah menyetujui rencana pembentukan markas Kodam untuk 38 Provinsi di Indonesia, termasuk di antaranya di Daerah Otonomi Baru (DOM) Papua.

 

Kebijakan penguatan postur militer matra darat tersebut bermula dari usulan yang disampaikan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurrachman dan berdasarkan pemberintaan di media juga telah disetujui oleh Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.

Dominasi TNI, lanjut Ray Rangkuti dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu: Pertama, aspek historis, dimana popularitas TNI kian meningkat sejalan dengan peran besar TNI dalam berbagai urusan keamanan dalam negeri.

Kedua, aspek politis, dimana adanya goals timbal balik antara kekuasaan Soeharto dan kekuatan postur TNI. TNI dijadikan alat untuk menopang kekuasaan Soeharto, sementara di sisi lain TNI diberikan porsi yang cukup dominan dalam bidang politik.

Ketiga, adanya cara pandang yang terbentuk di kalangan masyarakat, dimana masyarakat menginginkan ketiadaan konflik, dan TNI memainkan peran untuk meredam konflik tersebut.

Peneliti dan Pengamat Pertahanan BRIN, Diandra Megaputri Mengko,  mengatakan restrukturisasi militer memang dibutuhkan. Beberapa komponen militer seharusnya dikurangi, dan hanya diperkuat di wilayah tertentu saja yang sarat akan ancaman eksternal.

"Sehingga wacana Kementerian Pertahanan untuk melakukan pembentukan Kodam baru untuk 38 provinsi perlu untuk dipertanyakan,” kata dia.

Jika Kementerian Pertahanan menilai bahwa TNI membutuhkan kolaborasi dengan pemerintah daerah, hal ini bertentangan dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang TNI. Dalam UU itu disebutkan bahwa komponen militer merupakan alat pertahanan negara, bukan alat pertahanan daerah.

"TNI merupakan suatu institusi berskala nasional, sehingga apabila TNI terpencar dan tidak terpusat akan melahirkan berbagai persoalan baru. Untuk melakukan restrukturisasi TNI, dibutuhkan kajian mengenai pandangan dinamika ancaman, agar TNI dapat berfokus pada tugas pokok dan fungsi yang sesuai dengan keahliannya,” papar dia.

Diandra yang tengah menyelesaikan studi doktoralnya tentang pertahanan tersebut juga menambahkan, tidak ada postur ideal dari suatu komponen militer. Namun, terdapat dua hal yang dapat dijadikan indikator dalam agenda perluasan komando teritorial.

"Pertama, menilai aspek ancaman militer. Kedua, mempertimbangkan wacana penataan komponen militer dengan memperhatikan aspek hubungan antara sipil dan militer,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement