Terkait isu transaksi janggal Rp 349 triliun di Kemenkeu, Mahfud MD membagi ke tiga kelompok terhadap laporan hasil analisis (LHA) PPATKterkait transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun. Pertama adalah transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Nilai transaksi di kategori pertama itu adalah sebesar Rp 35.548.999.231.280. Transaksi tersebut melibatkan 461 entitas dari aparatur sipil negara (ASN), 11 entitas dari ASN kementerian/lembaga lain, dan 294 entitas berasal dari non-ASN.
"Transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kementerian Keuangan, kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI hanya Rp 3 triliun, yang benar 35 triliun," ujar Mahfud dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU), Rabu (29/3/2023).
Kategori kedua adalah transaksi keuangan yang mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pegawai lain. Nilai transaksi di kategori tersebut sebesar Rp 53.821.874.839.402 triliun.
Nilai transaksi tersebut melibatkan 30 entitas dari ASN Kemenkeu. Selanjutnya dua ASN dari kementerian/lembaga lain, dan 54 non ASN.
Kategori terakhir adalah transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tidak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu. Nilai transaksinya sebesar Rp 260.503.313.306.
Nilai tersebut hanya melibatkan 222 entitas dari non-ASN. "Sehingga jumlahnya sebesar 349 triliun, fix," tegas Mahfud.
Dari data yang disampaikan Mahfud itu, total melibatkan 1.074 entitas. Dari 1.074 entitas tersebut, 491 di antaranya merupakan ASN Kemenkeu. Lanjutnya, data tersebut merupakan agregat dugaan TPPU dari 2009 sampai 2023.
Mahfud juga mengungkapkan adanya kekeliruan dari penjelasan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Kekeliruannya tersebut terjadi karena tak diberikannya laporan dugaan TPPU dari PPATK pada 2017.
"Laporan itu diberikan tahun 2017, oleh PPATK, bukan tahun 2020. Tahun 2017 diberikan tidak pakai surat, tapi diserahkan oleh Ketua PPATK langsung kepada Kementerian Keuangan yang diwakili Dirjen Bea Cukai, Irjen Kementerian Keuangan, dan dua orang lainnya," ujar Mahfud.
Pada 2017, PPATK sengaja tak memberikan laporannya memakai surat karena sensitifnya data tersebut. Namun, laporan dugaan tindak pidana pencucian uang itu tak sampai ke tangan Sri Mulyani.
"Dua tahun ndak muncul tahun 2020 dikirim lagi, ndak sampe ke Bu Sri Mulyani, sehingga bertanya ketika kami kasih itu dan yang dijelaskan yang salah," ujar Mahfud.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani kepada Komisi XI mengungkapkan, dari mayoritas dana transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun hanya 3,3 triliun yang terindikasi sebagai dana tindak pidana pencucian uang di Kemenkeu.
Menurutnya, nilai transaksi Rp 3,3 triliun tersebut merupakan akumulasi transaksi debit kredit pegawai Kemenkeu termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, dan jual beli harta untuk kurun waktu 2009-2023 yang telah ditindaklanjuti. Sri menambahkan, dalam dana Rp 3,3 triliun itu, juga terdapat surat berkaitan dengan clearance pegawai yang digunakan dalam rangka mutasi promosi atau fit and proper test.
“Yang bener-bener berhubungan dengan pegawai Kemenkeu Rp 3,3 triliun, ini 2009-2023. 15 tahun seluruh transaksi dari debit kredit yang inquiry, termasuk penghasilan resmi, transaksi keluarga, jual beli aset, itu Rp 3,3 triliun,” ucapnya.