Selasa 21 Mar 2023 03:50 WIB

Mengapa Kalau Isu tidak Viral Pemerintah tak Tindak Lanjuti?

"Masalahnya sistem pemerintahan kita tidak punya oposisi."

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Mansyur Faqih
Viral (ilustrasi)
Foto: picpedia.org
Viral (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggapan publik soal apabila sesuatu hal tidak viral, maka kebijakan tidak dijalankan atau dibentuk dinilai terjadi karena komunikasi publik pemerintah yang buruk. Di samping itu, yang juga menjadi persoalan adalah masih lambatnya para birokrat memproses atau mempercepat layanan mereka terhadap masyarakat.

"Repotnya, pemerintah sering minim komunikasi publik. Presiden tidak punya juru bicara (jubir), yang ngomong siapa? Pernah punya jubir, tapi jubirnya sekarang tidak ada. Jadi di situ kemudian masalahnya, buruknya komunikasi publik," ujar pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, kepada Republika, Senin (20/3/2023).

Trubus menyampaikan, sebenarnya, semua kebijakan berjalan sebagaimana mestinya. Tapi, pada era post truth seperti saat ini, masyarakat semakin tidak percaya dengan apa yang sudah dilakukan pemerintah. Itu berujung pada keingintahuan berlebih masyarakat yang membanjiri dunia digital yang kemudian menyebabkan suatu isu viral.

Menurut dia, suatu isu viral dan kemudian langsung direspons oleh pemerintah terjadi juga karena pemerintah atau kaum elite bangsa ini tidak suka dengan kegaduhan. Trubus melihat Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan sosok yang tidak suka dengan kegaduhan, melainkan ada langkah konkret dalam menjalankan suatu kebijakan.

"Makanya begitu viral, sering ditindak supaya selesai dan memutus mata rantai itu. Tapi itu cara pandang keliru. Tapi namanya konsekuensi komunikasi publik yang buruk, maka hal-hal viral itu yang seolah ditindaklanjuti, yang tidak viral tidak ditindaklanjuti," kata Trubus.

Sementara itu pengamat kebijakan publik lainnya, Agus Pambagio, mengatakan, anggapan tersebut dapat terjadi karena pemerintah saat ini kerap menerapkan reverse policy atau kebijakan terbalik. Semestinya, kata dia, suatu kebijakan dibuat secara tertata mulai dari pembuatan peraturan, kebijakan, hingga implementasinya di tengah masyarakat.

"Kalau sekarang kan dipaksa-paksa diimplementasikan dulu, tapi tidak jelas. Jadi kayak dibalik. Nah itu bisa terjadi. Karena kalau tidak ada yang mengingatkan ya semua jalan saja. Masalahnya sistem pemerintahan kita tidak punya oposisi. Nah, yang mengingatkan itu dulu cuma media. Sekarang masyarakat bebas karena ada media sosial," kata Agus.

Menurut Agus, kebijakan yang berjalan seperti itu bisa saja berjalan. Tapi hanya untuk kebijakan-kebijakan sederhana seperti persoalan sampah, jalanan rusak, dan semacamnya.

Untuk kebijakan-kebijakan yang melibatkan lebih banyak pihak tidak bisa hal itu dibiarkan seperti itu. Untuk mendorong pemerintah menjalankan atau mengubah kebijakan yang besar perlu upaya lebih dari sekadar lewat media sosial.

"Untuk mengubah atau mendorong pemerintah menjalankan kebijakannya itu harus kita lakukan dengan cerdas juga, bukan hanya media sosial. Kalau kebijakan-kebijakan yang sederhana sih bisa. Tapi kalau masuk ke ranah yang lebih serius tidak bisa. Karena harus disampaikan policy paper, policy brief, lalu kita lobi dan seterusnya," jelas dia.

Di samping itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, turut mengomentari fenomena tersebut dan membandingkannya dengan isu di dunia pendidikan dan guru. Dia mengatakan, persoalan tentang guru dan pendidikan semestinya bisa direspons cepat tanpa harus melalui proses viral terlebih dahulu.

"Berarti membenarkan pameo masyarakat bahwa no viral, no justice. Mestinya kebijakan ini (terkait nasib dan kesejahteraan guru) langsung diketok, tidak perlu menunggu desakan viral, karena ini adalah hak guru yang tidak bisa ditunda," ujar Ubaid.

Namun, Ubaid menekankan, para guru juga harus ingat untuk jangan hanya menuntut hak saja. Akan tetapi juga menunaikan kewajiban untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Untuk itu, diperlukan suatu master plan pendidikan, salah satunya peningkatan kualitas SDM guru, yang dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan.

"Harus ada master plan, dan bagaimana itu dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan. Master plan peningkatan kualitas guru kita itu seperti apa? Itu pertanyaan publik yang kita tidak tahu jawabannya," jelas Ubaid.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bertemu dengan sejumlah pegiat seni dan media sosial (influencer) di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Jumat (17/3/2023) malam.

Pertemuan yang berlangsung dari pukul 19.30 WIB hingga 23.00 WIB itu, salah satunya membicarakan soal masukan influencer terhadap isu-isu yang mereka anggap penting. Terutama terkait hal-hal yang viral, seperti soal penanganan kasus mantan pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo (RAT).

Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani kembali menegaskan komitmen kementerian untuk melakukan bersih-bersih dan perbaikan. Mulai dari sisi regulasi dan penegakan integritas.

Dia juga menyinggung soal kebijakan baru terkait penurunan tarif pemotongan pajak penghasilan (PPh) hingga relaksasi ketentuan ekspor impor dan kepabeanan terhadap barang pameran yang kerap dikeluhkan pelaku usaha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement