REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pedagang pakaian bekas impor atau thrifting di Pasar Cimol, Gedebage, Kota Bandung, mengeluhkan kebijakan pemerintah yang melarang menjual pakaian bekas impor. Larangan ini membuat penjualan barang sepi dan omzet menurun.
"Iya jelas (omzet menurun), sesudah (pandemi) corona, terus ada larangan pakaian bekas impor," ujar Rian Priatna salah seorang pedagang pakaian bekas impor di Pasar Cimol Gedebage yang sudah berbisnis sejak 12 tahun terakhir, Senin (20/3/2023).
Larangan menjual pakaian bekas impor, ia mengatakan berpengaruh terhadap aktivitas jual beli pakaian bekas impor di Gedebage. Sejak lima hari terakhir, gudang-gudang penyimpangan barang thrifting tutup.
"Jualan masih tenang hanya pembeli tidak ada. Mereka takut ditangkap dan gudang-gudang sudah tutup," katanya.
Ia mengatakan petugas dari Bea Cukai dan Polda Jawa Barat sempat melakukan pengecekan ke Pasar Cimol Gedebage Bandung. Rian melanjutkan ia bersama pedagang lain saat ini masih menjual pakaian bekas impor dengan diecer dan grosir.
"Sepi pisan. Ada pengunjung takut disita barang," katanya.
Namun, pengunjung sudah jarang dan membeli bahan sulit setelah kebijakan larangan pakaian bekas imor dilarang. Produk yang dijualnya merupakan produk Jepang dan Korea Selatan didapat dari negara Malaysia dan Singapura.
"Kalau saya grosir, untuk dijual lagi, ngecer langka satu atau dua. Pembeli banyak beralih di zaman corona juga (ke thrifting)," katanya.
Ia menuturkan para pedagang berharap agar terdapat kejelasan terkait kebijakan larangan menjual pakaian bekas impor. Apalagi usaha thrifting sudah menjamur di seluruh Indonesia dan sangat membantu kalangan menengah ke bawah.
"Kalau membeli produk kita (lokal), bahan dan harga beli tidak sanggup orang kita," katanya.
Rian mengatakan banyak pelaku konveksi pun beralih ke usaha pakaian bekas impor saat ini. Mereka banyak mengkostum pakaian bekas impor. Di satu sisi, ia heran karena banyak produk lokal yang KW namun tidak ditindak.
Di beberapa negara, pakaian bekas banyak yang didaur ulang dan tidak menjadi sampah. Selain itu banyak konsumen yang tidak semua mampu dan berasal dari kalangan menengah ke bawah.
"Dengan ada barang ini yang mau gaya bisa, tidak perlu mahal. Sedangkan orang Indonesia ingin murah tapi bagus (kualitas)," katanya.