Rabu 15 Mar 2023 00:45 WIB

Fenomena Siswi Sayat Tangan, KPAI: Masalah Kejiwaan Kerap tak Tertangani

Soal siswi menyayat tangan, KPAI sebut masalah kejiwaan anak kerap tak tertangani.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Masalah kejiwaan (ilustrasi). Soal siswi menyayat tangan, KPAI sebut masalah kejiwaan anak kerap tak tertangani.
Foto: Republika.co.id
Masalah kejiwaan (ilustrasi). Soal siswi menyayat tangan, KPAI sebut masalah kejiwaan anak kerap tak tertangani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Undang-Undang Pendidikan dan Layanan Psikologi (PP PLP) untuk lekas diimplementasikan menyusul terjadinya fenomena puluhan siswi sekolah menyayat tangan dengan silet. Selama ini, ketika membicarakan soal sekolah ramah anak, persoalan kejiwaan anak-anak cenderung sangat tertinggal untuk ditangani.

"Ternyata ada yang lupa tersampaikan, yaitu persoalan kejiwaan anak anak kita. Bagaimana anak-anak mengenal kecenderungan kejiwaan mereka. Ini yang masih sangat tertinggal ditangani. Karena soal gangguan jiwa sangat jauh dari urusan bisnis sekolah. Sehingga butuh intervensi negara," ujar Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, kepada Republika, Selasa (14/3/2023).

Baca Juga

Jasra berharap, dengan disahkannya UU PLP setiap anak bisa mendapatkan layanan psikologi yang layak dari tenaga profesional. Tenaga profesional tersebut baik dari sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki sekolah, yakni guru yang berlatar belakang psikolog, maupun dari mandat UU tersebut untuk penyediaan tenaga SDM layanan psikologi.

"Dari pengalaman KPAI melihat korban anak yang mengalami gangguan jiwa, itu menjadi urusan paling terbelakang karena sekolah dan orang tua sudah disibukkan hal lain. Karena situasinya sangat membutuhkan perhatian khusus dan lingkungan yang terakses, akomodasi layak, keberpihakan yang intens untuk korban anak yang mengalami gangguan kejiwaan," jelas dia.

Jasra menjelaskan, dari laporan yang masuk ke KPAI, soal anak yang menyayat tangan dan perilaku hambatan kejiwaan lainnya tidak bisa diselesaikan sederhana, melainkan butuh proses panjang karena berbagai sebab penyerta, yang dianggap anak tidak bisa menjawab kebutuhan gizi jiwanya.

Karena faktor kesendirian dan lingkungan yang tidak peduli, anak-anak mencari cara mengatasi kebutuhan gizi jiwanya dengan menyayat tangan.

"Dampak dari anak anak mengalihkan persoalan kejiwaan dengan menyayat tangan berdampak pada luka membekas yang lama dan butuh waktu menghilangkannya," kata Jasra.

Menurut dia, penting bagi para guru untuk memahami situasi anak didiknya dan dengan baik memilih topik pembicaraan. Sebab, sedikit saja depresi yang mereka rasakan, maka dapat menyebabkan anak mudah patah semangat. Jasra menyebutkan, pemulihan anak menjadi bagian tugas dari sekolah juga.

Selain sekolah, kata Jasra, orang tua dan lingkungan juga sangat penting mengenal emosi anak-anak di sekitarnya. Ketika emosi seorang anak lebih disalurkan dengan ekspresi ketakutan, kepanikan, menyasar obyek yang tidak beralasan, maka berarti penting segera anak mendapatkan perhatian yang lebih intens dalam edukasi pada penyaluran dan pengendalian emosi yang lebih baik.

"Karena jika dibiarkan akan terbenam, bertumpuk tumpuk di alam bawah sadar mereka, yang ke depan tinggal menunggu pemicunya, yang akan meledak menjadi peristiwa di luar nalar kita semua," ungkap dia.

Jasra menuturkan, ponsel dan media sosial juga kerap disebut oleh anak sebagai pemandu mereka mengatasi kebutuhan gizi jiwa. Perasaan tidak nyaman, tidak berguna, dan tidak memiliki teman akibat kondisi tersebut membuat kebutuhan pertemanan itu dicari di media sosial lewat ponsel mereka. Dari sana ditawarkan berbagai metode cara menghadirkan teman imajinasi.

"Di antaranya mereka menemukan di Youtube yaitu Jessicamethod, yang berhasil mengatasi kesendirian mereka. Sehingga merasa memiliki teman curhat dalam bayangan mereka. Korban juga mengetahui cara menghadirkan teman imajinasi melalui Tiktok," kata Jasra.

Namun, risikonya adalah anak-anak berada dalam perilaku yang tidak aman. Bisikan yang ada menyebabkan mereka melawan, hanya karena kondisi jiwa, mereka tidak mudah mengendalikannya.

Kecenderungan teman imajinasi itu dia sebut sangat berbahaya. Sehingga anak anak yang menyanyat tangannya yang sudah memiliki teman imajinasi, selalu mencoba memutus pertemanan imajinasinya.

"Karena sebenarnya mereka ingin kembali memiliki teman teman yang benar benar nyata, hanya terus tidak terjadi karena gangguan yang sewaktu waktu datang, tetapi teman teman sekitarnya tidak memahami, untuk mendukung pemulihan," kata dia.

Terkait SMP Bengkulu, Jasra menilai penting bagi sekolah untuk menghindari dampak berkepanjangan dengan anak putus sekolah. Anak dapat istirahatkan sementara dengan menggantikan aktivitas seperti kebutuhan wajib terapi, mengganti cara penilaian sekolah dengan pemulihan yang bertujuan pada perubahan karakter, penyediaan dukungan, ketersediaan akses pemeriksaan ke ahli.

"Bisa dengan menghindari sementara dari yang dianggap anak menjadi beban dari orang tua, sekolah, dan lingkungan. Kemudian sekolah mengatasi ketertinggalan belajarnya, dengan mengganti tugas tugas belajar mereka, dengan tugas pemulihan. Karena pemulihan ini bisa menjadi bagian penilaian untuk korban," jelas dia.

Apalagi dalam UU Sisdiknas sistem pendidikan bertujuan pada pembangunan sikap positif dan terbangunnya nilai nilai karakter. Ada perubahan sikap, ada kemandirian, sehingga pemulihan menjadi bagian mendukung kembali ke dunia pembelajaran. Ada juga kebutuhan di sekolah, untuk memperbanyak guru dengan latar belakang pendidikan kejiwaan.

"Untuk itu kita berharap UU PLP bisa benar-benar efektif di sediakan dan terselenggara secara baik di sekolah. Agar semua anak sejak dini mendapatkan layanan psikologi yang layak dalam mengenal jiwanya sejak dini. Dan ini bukan pekerjaan yang bisa sambal ditinggal dengan pekerjaan lain, benar benar butuh konsentrasi dalam pemenuhan gizi jiwa anak sesuai usia dan tumbuh kembangnya sejak dini," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement