REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani meminta jajarannya agar lebih sensitif untuk merespon isu di lapangan, terutama dalam merespon aduan PMI. Pernyataan keras Benny itu, menyikapi kasus meninggalnya Purwanto PMI asal Cilacap atas insiden kebakaran di Korea Selatan.
"Harus miliki sensitivitas masalah-masalah di lapangan. Terutama dalam merespon aduan PMI, seperti aduan dari PMI di Korea Selatan," kata Benny, Jumat (10/3/2023).
Jika sampai bobol mendapatkan informasi, Benny khawatir, imbasnya lembaga BP2MI dibubarkan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, dia meminta, para pejabat BP2MI minimal rajin membaca berita.
"Kalau beritanya sudah masuk istana lalu BP2MI tidak tahu apa-apa, ini yang repot. Kalau presiden nanya, ngapain aja orang BP2MI, jangan sampai lembaga ini dibubarin," sambungnya.
Benny menjelaskan, Purwanto merupakan PMI G to G Manufacturing asal Cilacap yang mengalami luka bakar disekujur tubuh mencapai 77 persen. Purwanto meninggal pada Senin (6/3/2023) lalu, setelah koma 10 hari di rumah sakit.
"Problemnya sekarang adalah, pertama pemulangan. Kedua pembiayaan, biayanya sampai 28 juta won atau sekitar Rp 300 juta. Saya minta ini disikapi segera apa jalan keluarnya," ungkap Benny.
Lebih lanjut, Benny juga sempat menyinggung persoalan asuransi PMI yang sampai belum terselesaikan. Dia berharap, pemerintah dan BP2MI bisa segera menemukan solusi.
"Peristiwa kebakaran terjadi saat mereka tidur. Mereka tak dapat asuransi kecelakaan kerja. Asuransi kesehatan hanya bisa menampung sebagian dari biaya perawatan rumah sakit disana," tegas Benny.
"Kalau asuransi BPJS pasti dapat, tapi klaimnya disini. Almarhum purwanto total biaya rumah sakit yang masih harus dibayar secara mandiri itu 13 juta won, biaya pemulangan 9 - 10 juta won. Total 22 - 23 juta won atau Rp268-300 juta," tutur Benny.