REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain membantu dunia usaha, restrukturisasi kredit dinilai memberikan dampak positif untuk kinerja perbankan. Pengamat perbankan Doddy Ariefianto mengatakan dampak positif program relaksasi kredit ini utamanya dirasakan oleh bank yang memiliki portofolio cukup besar ke sektor terdampak Covid-19.
"Himbara juga banyak yang nasabahnya kena dampak Covid, terutama bank yang menyalurkan kredit ke sektor korporasi, perdagangan, retail, perhotelan ataupun wisata," kata Doddy kepada Republika.co.id, Rabu (22/2/2023).
Dengan relaksasi, lanjut Doddy, tingkat kolektibilitas bank akan terjaga. Sebaliknya, apabila tingkat kolektibilitas debitur menurun maka bank harus mengeluarkan biaya untuk meningkatkan pencadangan. Bank pun kurang efisien dalam mengelola operasionalnya.
Meski demikian, menurut Doddy, semestinya kebijakan relaksasi ini tidak diperpanjang terlalu lama karena dapat membuat neraca bank menjadi tidak tepat. Doddy menilai, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus segera membuat rencana normalisasi.
"Kebijakan ini lahir dari situasi extraordinary, kalau sudah normal mestinya dibalikin lagi. Untuk sekarang harus ada transisi," ujar Doddy.
Dengan adanya transisi, Doddy berharap dalam waktu dua atau tiga tahun ke depan kebijakan ini sudah normal kembali. Sebelumnya, OJK menyebut program restrukturisasi kredit akan segera berakhir pada Maret 2023. Namun, beberapa sektor tertentu masih bisa memanfaatkan relaksasi itu hingga Maret 2024.
Bank dengan tingkat restrukturisasi tinggi, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) mencatat restrukturisasi kredit sudah Rp 256,38 triliun per September 2022 dari empat juta nasabah. Direktur Utama BRI, Sunarso mengatakan BRI telah menyisihkan biaya cadangan atau CKPN yang lebih dari cukup.
"Tapi saya yakin dan percaya OJK sangat paham tentang situasi perbankan dan industri keuangan. Maka kebijakan ini masih diperlukan agar diperpanjang," kata Sunarso.
Ia menuturkan, sisa restrukturisasi kredit BRI per September 2022 sebesar Rp 116,45 triliun. Jumlah nasabah restrukturisasi kredit yang terdampak Covid juga sudah berkurang menjadi 1.390.736 nasabah.
Dari empat juta lebih nasabah yang mendapatkan fasilitas itu, kata dia, kini sebanyak 53,1 persen atau 2.124.602 nasabah sudah mampu membayar. Kemudian yang sudah lepas restrukturisasi kredit dan menjadi sehat sebanyak 174.565 nasabah.
Ia menyebutkan, sejak pandemi sampai sekarang akumulasi kredit UMKM yang direstrukturisasi sebesar Rp 256,37 triliun.
"Lalu yang benar-benar tidak bisa diselamatkan hanya Rp 12,749 triliun," kata Sunarso.
Di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, restrukturisasi kredit terdampak Covid konsisten menunjukkan tren yang melandai seiring momentum pertumbuhan ekonomi. Hingga akhir Desember 2022, total restrukturisasi kredit tercatat tersisa Rp 35,9 triliun, posisi ini sudah jauh menurun dibandingkan kondisi akhir 2021 yang mencapai Rp 69,7 triliun.
"Sebagai langkah antisipasi potensi penurunan kualitas kredit, kami terus menjaga pembentukan pencadangan. Per akhir Desember 2022, Bank Mandiri telah membukukan biaya CKPN secara bank only sebesar Rp 10,3 triliun dengan rasio NPL coverage berada di level yang memadai," kata Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi.
Seiring dengan tren positif pada kualitas aset, Bank Mandiri juga mendorong efisiensi biaya pencadangan. Sehingga cost of credit (CoC) membaik dari 1,91 persen ke level 1,21 persen. Darmawan menyebut angka tersebut terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Dari bank konsumer, Wakil Direktur PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) Nixon LP Napitupulu menilai kondisi restrukturisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) semakin membaik. Hal ini terlihat dari jumlah nasabah dan nilai restrukturisasi KPR Covid terus berkurang.
Dengan tren dari restrukturisasi yang membaik itu, Nixon yakin kinerja BTN ke depan akan lagi baik lagi. Ditambah dengan adanya kebijakan relaksasi, Nixon optimistis banyak debitur yang sebelumnya ambil program restrukturisasi dapat lulus restrukturisasi tahun ini.
"Nilai KPR yang keluar dari program restrukturisasi Covid terlihat semakin besar, yakni pada Desember 2022 sudah mencapai Rp 1,7 triliun hanya dalam satu bulan dan kedepannya diyakini akan terus meningkat," kata Nixon.
Begitu juga dengan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BNI) yang mencatatkan penurunan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 dari Rp 72,1 triliun per akhir 2021 menjadi Rp 49,6 triliun per akhir 2022. Angka restrukturisasi Covid itu hanya mencapai 7,8 persen dari total penyaluran pinjaman BNI pada 2022.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar menyampaikan, kredit yang direstrukturisasi karena Covid-19 sudah turun jadi Rp 469 triliun dari puncaknya Rp 839 triliun. Program ini didukung peningkatan coverage pencadangan hingga 24,3 persen.
"Dapat diartikan kita siap mengakhiri masa restrukturisasi pada akhir Maret 2023, kecuali untuk beberapa sektor padat karya yang akan diperpanjang hingga Maret 2024," katanya saat Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan di Jakarta.