REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendukung keberanian anak melaporkan kasus kekerasan di panti asuhan Palembang. KPAI mendorong polisi menyelidiki perdamaian di balik kasus itu. Kasus tersebut akhirnya mendapat perhatian luas setelah viral di media sosial.
KPAI menemukan para korban sudah setahun dalam pengasuhan tidak layak dalam Panti Asuhan di Palembang. Korban ini bahkan ada yang berada dalam kondisi disabilitas.
"Saya ingin menyampaikan apresiasi sebesar besarnya, atas keberanian anak asuh menggugah video tersebut. Padahal kita tahu peristiwa kekerasan tersebut sudah diselesaikan secara damai, antara pihak panti dan orang tua yang menitipkan anak," kata Wakil Ketua KPAI Jasra Putra dalam keterangannya kepada Republika, Selasa (28/2).
Jasra menilai, perdamaian yang dilakukan tak memuaskan para korban. Para korban masih merasa geram pelaku yang belum mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Apa yang terjadi pada anak setelah kata damai tersebut? Mereka gusar dari penyelesaian damai ini, dengan sekuat tenaga berusaha berani menggugah kekerasan tersebut di media sosial. Maka kebayang ya, kegelisahan anak, tidak bisa tidur, terganggu karena paparan kekerasan dan penderitaan anak anak asuh disana yang telah berlangsung lama," ujar Jasra.
Jasra mengamati ada perasaan yang dipendam oleh para korban pasca perdamaian dengan pelaku. Hanya saja, para korban perlu waktu mengungkapkannya karena ada beban psikologis.
"Beban untuk mengungkap, karena soal pemahaman anak, padahal di sisi lain ia membutuhkan perlindungan, tetapi berada di tangan orang yang salah. Sangat dilematis," ucap Jasra.
Selain itu, KPAI mendorong kepolisian menyelidiki pihak yang memfasilitasi perdamaian korban dengan pelaku. "Keberanian anak ini sangat perlu diapresiasi karena menjadi bagian dari pemulihan jangka panjang. Untuk itu semua yang terlibat mendamaikan, perlu diperiksa Kepolisian, agar terang benderang apa penyebab terjadinya perdamaian dan siapa yang terlibat mendamaikan," ucap Jasra.