Sabtu 25 Feb 2023 08:09 WIB

Kasus Penganiayaan David, Pengamat Sosial: Empati Semakin Berkurang di Era Digital

Di era digital, kemarahan menjadi sesuatu yang cepat menular lewat konten kekerasan

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Tersangka kasus penganiayaan Mario Dandy Satrio dihadirkan dalam rilis yang digelar Kepolisian di Polres Jakarta Selatan. Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menyebut beberapa faktor yang melatarbelakangi semakin meningkatnya kasus kekerasan saat ini. Hal ini sebagai respon kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satrio (MDS) secara brutal kepada pelajar bernama David.
Foto: Ali Mansur/Republika
Tersangka kasus penganiayaan Mario Dandy Satrio dihadirkan dalam rilis yang digelar Kepolisian di Polres Jakarta Selatan. Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menyebut beberapa faktor yang melatarbelakangi semakin meningkatnya kasus kekerasan saat ini. Hal ini sebagai respon kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satrio (MDS) secara brutal kepada pelajar bernama David.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menyebut beberapa faktor yang melatarbelakangi semakin meningkatnya kasus kekerasan saat ini. Hal ini sebagai respon kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satrio (MDS) secara brutal kepada pelajar bernama David.

Devie mengatakan, di era digital saat ini membuat rasa empati semakin berkurang. Empati yakni perasaan yang berusaha menempatkan diri kita di posisi orang lain ini yang semakin hilang di era digital.

Baca Juga

"Di era digital ini ternyata empati kita semakin berkurang. Perasaan kira-kira apakah yang kemudian orang lain akan rasakan kalau kita melakukan sesuatu," ujar Devie.

Karena itu, perasaan itu yang tidak muncul pada para pelaku penganiayaan David. Menurutnya, perasaan empati ini yang mendorong para pelaku kekerasan menganiaya korbannya.

Pengajar Vokasi Universitas Indonesia ini menilai, rasa empati bukan perasaan yang tiba-tiba ada dalam diri seseorang tetapi harus dilatih. Caranya, dengan berinteraksi dengan orang yang berbeda pikirannya, perasaan maupun pandangan, sehingga dapat memahami perasaan orang lain.

Namun sayangnya, di era digital ini kecenderungan bertemu dengan orang berbeda ini jarang terjadi. Menurutnya, kecenderungan di era digital bertemu dengan orang yang sama membuat tidak bisa merasakan perasaan orang lain yang berbeda.

Hal ini menurutnya, turut berkontribusi terhadap tumpulnya rasa empati dalam diri seseorang. "Sehingga kemudian membuat aksi-aksi kekerasan itu menjadi sesuatu yang biasa saja," ujarnya.

Kondisi ini, lanjut Devie, ditambah di era digital, kemarahan menjadi sesuatu yang cepat menular karena adanya konten-konten berbau kekerasan. Ini karena mesin-mesin algoritma memberikan kemudahan mendapatkan likes dan perhatian ketika seseorang mengirim atau menaruh konten-konten berbau kekerasan.

Sehingga kemudian ini justru membuat semangat untuk berbuat kekerasan itu kemudian menular ke orang lain. Apalagi, masyarakat Indonesia termasuk pengguna internet yang menghabiskan waktu berselancar rata-rata sekitar 8 jam 40 menit.

"Karena kita tidak lagi mampu menakar apakah tindakan kita bisa kemudian dirasakan tidak nyaman atau bahkan merugikan orang lain. Ditambah kemudian orang malah justru mengunggah aksi-aksi kekerasan bahkan mengirimkan ke di ruang digital agar mendapatkan lebih banyak like," ujarnya.

Selain itu, Devie menilai, tidak sedikit orang yang menjadikan aksi kekerasan sebagai cara untuk mendapatkan ketenaran dan pengakuan. Sehingga hal ini menambah motif seseorang untuk melakukan kekerasan untuk menunjukkan kekuatannya.

"Menaruh video orang lain yang sudah dihajar atau disakiti itu dilakukan agar orang tersebut terlihat lemah selamanya sehingga itu cara untuk mempermalukan orang yang sudah disakiti," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement