REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI memperbolehkan partai politik peserta Pemilu 2024 maupun calon yang hendak diusungnya untuk melakukan safari politik ke berbagai daerah. Hanya saja, safari politik itu tidak boleh dijadikan ajang kampanye.
"Kalau mau safari ya silakan, tapi jangan libatkan masyarakat umum seperti kampanye," kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja kepada wartawan, Senin (20/2/2023).
Bagja menjelaskan, kegiatan safari boleh dilakukan apabila setiba di suatu daerah hanya menggelar pertemuan dengan kalangan internal parpol. Jika mau mengundang simpatisan juga tak masalah, asalkan tidak memobilisasi masyarakat umum.
Menurut Bagja, sekarang memang waktunya bagi partai politik untuk melakukan sosialisasi. Ketua parpol memang perlu menyampaikan sosialisasi kepada anggotanya di daerah terkait persiapan Pemilu 2024.
"Kalau mau diperkenalkan (kepada kalangan internal) ya silakan, kami tidak mau menghalangi, jadi ya silakan," ujar Bagja.
Meski memperbolehkan parpol melakukan kegiatan safari politik, tapi Bawaslu tidak bisa mengusut atau meminta laporan dana kegiatan tersebut. Hal itu diungkapkan Bagja pada pertengahan Desember 2022 lalu ketika didesak untuk mengusut dana safari politik bakal calon presiden Partai Nasdem, Anies Baswedan.
Ketika itu, Bagja mengatakan pihaknya tidak bisa mengusut dana safari Anies karena terjadi sebelum masa kampanye. Untuk diketahui, masa kampanye resmi baru dimulai 28 November 2023.
"Nah apakah aliran dana safari politik ini sudah memasuki masa kampanye? Kan ini belum memasuki masa kampanye. Jadi, agak sulit bagi Bawaslu menerobos kewenangan yang tidak diberikan oleh undang-undang," ujarnya menambahkan," kata Bagja di kantornya, Jakarta, Senin (12/12/2022).
Terkait adanya desakan mengatur pendanaan kegiatan kampanye partai politik (parpol), Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan, tidak ada satu pun undang-undang yang mengatur pelaporan dana sosialisasi partai politik. Komisioner KPU RI Idham Holik menjelaskan, UU Pemilu hanya mengatur soal dana kampanye parpol dan kontestan pemilu lainnya, tapi tidak mengatur dana kegiatan sosialisasi.
Dana sosialisasi, lanjut dia, juga tidak diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, maupun dalam undang-undang perubahannya yakni UU Nomor 2 Tahun 2011. Dalam UU Partai Politik itu hanya mengharuskan partai membuat laporan apabila menerima kucuran dana dari pemerintah maupun pemerintah daerah.
Kekosongan regulasi ini terjadi saat partai politik kini punya waktu panjang untuk melakukan kegiatan sosialisasi. KPU dan Bawaslu diketahui memperbolehkan partai peserta pemilu menggelar sosialisasi menjelang masa kampanye dimulai pada 28 November 2023.
Karena itu, Idham mengatakan pihaknya bakal membuat regulasi sendiri terkait pendanaan kegiatan sosialisasi partai politik ini. Regulasi itu disebutnya sebagai langkah progresif KPU mengatasi kekosongan hukum.
"Saat ini kami sedang merancang keputusan terkait teknis kegiatan sosialisasi peserta pemilu. Insya Allah usulan terkait pelaporan dana sosialisasi parpol itu nanti akan kami masukkan," kata Idham dalam sebuah diskusi di Jakarta, dikutip Senin (20/2/2023).
Ketika ditanya kapan regulasi itu akan terbit, Idham belum bisa memastikannya. Sebab, pembuatan regulasi itu tidak dilakukan divisi yang ia pimpin.
Sebelumnya, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti kekosongan hukum terkait pendanaan parpol. Dia menyitir temuan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa ada dana hasil kejahatan lingkungan senilai Rp 1 triliun mengalir ke anggota partai politik untuk keperluan pemenangan Pemilu 2024.
Masalahnya, kata Titi, Bawaslu tidak bisa mengusut aliran dana tersebut karena terjadi sebelum masa kampanye. Sebab, UU Pemilu hanya memberikan kewenangan untuk mengusut dana kampanye.
"Kita sama-sama tahu aktivitas politik elektoral sudah dimulai, tapi pelaporan akuntabilitas dananya baru bisa dijangkau oleh institusi negara Bawaslu dan KPU saat masa kampanye," kata Titi.
Karena itu, Titi meminta KPU mengambil langkah terobosan dengan cara membuat regulasi untuk mengatur "ruang gelap pendanaan partai politik" selama masa sosialisasi. Dia menekankan, pembuatan regulasi terkait pendanaan itu bukan berarti negara mengintervensi parpol, tapi merupakan wujud kehadiran negara menagih akuntabilitas dan menciptakan kompetisi setara.