Oleh : Prof Asep Saepudin Jahar, PhD. Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembina LAZISNU dan LWP PC NU Tangerang Selatan
REPUBLIKA.CO.ID, “The Essence of all religions is one. Only their approaches are difference (Mahatma Gandhi)”
Penggalan kalimat di atas mengingatkan kita bahwa agama secara alamiah punya arah yang sama, yaitu kebaikan. Sementara keragaman hadir disebabkan cara pandang dan kemampuan manusia untuk menafsirkan agama itu sendiri.
Kesadaran tentang tujuan mulia agama ini perlu menjadi dogma bagi setiap penganut, bukan sebaliknya dogma agama dijadikan sebagai alat untuk membelah antar umat.
Pemahaman tentang universalisme agama dan keagungan nilai-nilainya untuk merawat kebersamaan merupakan jalan utama yang harus diajarkan untuk setiap pemeluk.
Penempatan agama dalam payung besar dan melingkup ini sulit terbentuk jika antarpemeluk menutup diri untuk ketemu dan berdialog.
Saling memahami yang diperkuat dengan saling menghargai akan terbentuk jika diantara pemeluk agama menempatkan dirinya dalam ruang harmoni yang saling membutuhkan.
Penganugrahan Doktor Honoris Causa (DR HC) kepada tokoh agama Gus Yahya dari Nahdhatul Ulama (NU), Sudibyo Markus penggerak sosial keagamaan Muhammadiyah dan Kardinal Angel Ayuso Guixot dari Vatikan oleh UIN Sunan Kalijaga tanggal 13 Febriari 2023 adalah momentum bersejarah titik temu antariman.
Doktor Kehormatan pada satu sisi bermakna simbolik penting bagi individu, namun pada sisi lain ia mempertegas pengakuan dan kesadaran bahwa kita telah menempatkan agama sebagai tujuan kemanusiaan.
Kehadiran NU, Muhammadiyah, dan Vatikan sebagai poros Katolik dunia adalah simbol kekuatan penting institusi agama yang memiliki makna yang luas. Jamaah NU yang lebih dari 50 persen umat Islam Indonesia dan diikuti Muhammadiyah adalah representasi ormas Islam dominan Indonesia.
Kardinal Ayuso dari Vatikan adalah bagian dari pembina jemaat Katolik dunia yang tidak kurang dari 1.3 miliar pengikutnya di dunia. Inilah momentum penting bagaimana keharmonisan dalam beragama akan menjadi agenda utama ke depan.
Beragam dan menghormati
Kebersamaan dalam beragama membutuhkan sistem yang menghadirkan saling menerima dan menghargai perbedaan. Toleransi selama ini dipandang sebagai ruang yang memadai untuk menjaga keragaman itu. Pengalaman selama ini, toleransi tidak menghadirkan dialog aktif yang mendorong hadir dalam kebersamaan.
Hans Kung (1986) dalam bukunya “Christianity and The World Religon” menjelaskan fungsi dialog sebagai media saling memperkuat antar iman melalui pro-eksistensi, bukan semata ko-eksistensi.
Ko-eksistensi berarti hadir dan saling menerima perbedaan yang dimiliki. Konsep ini lebih bersifat pasif, yaitu membiarkan yang lain ada. Sedangkan pro-eksistensi mendorong ikut secara aktif dan terlibat komunikasi terbuka, belajar satu sama lain.
Baca juga: Ketika Sayyidina Hasan Ditolak Dimakamkan Dekat Sang Kakek Muhammad SAW
Dengan pola seperti ini, setiap pemeluk tidak terbelenggu oleh keyakinan dan pandangannya. Relasi antarpemeluk yang beda menjadi luruh dalam kesatuan hidup dan menghidupi. Aspek keimanan tidak dikungkung dalam lingkup dirinya yang terbatas, sehingga melihat orang lain sebagai eksistensi asing dan bahkan disebut lawan.
Keterbukaan komunikasi antariman, memang mensyaratkan aneka bentuk persentuhan. Ada kalanya, pembicaraan bukan menjadi satu-satunya jalan untuk menciptakan kesepahaman.
Simbol, dalam kasus tertentu, seperti penganugerahan doktor HC pada tokoh lintas agama di atas, mempunyai makna simbolik penting dalam membentuk suatu persepsi atau pesan sehingga dapat dipahami oleh aneka subyek dari serba latar belakang.