REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons penyitaan uang di rekening bersama antara TNI AU dan perusahaan pemenang tender, yakni PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) senilai Rp139,43 miliar dalam perkara dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101. Direktur PT DJM John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh menjadi terdakwa tunggal dalam kasus tersebut.
Juru Bicara bagian Penindakan KPK, Ali Fikri, menegaskan seluruh upaya penyitaan yang dilakukan lembaganya sudah memenuhi mekanisme yang berlaku. Ia menjamin ada argumentasi hukum yang dapat membenarkan penyitaan dana TNI AU.
"Setiap penyitaan KPK, kami pastikan ada dasar hukumnya," kata Ali kepada Republika.co.id, Senin (13/2/2023).
Ali menanggapi santai pembelaan tim kuasa hukum Irfan Kurnia Saleh dalam kasus itu. Dia menantikan pembuktian atas pembelaan tersebut dalam sidang vonis pada pekan depan.
"Kalaupun penasihat hukum punya argumentasi lain yang berbeda itu hal biasa dalam penanganan sebuah perkara. Kita tunggu persidangan (vonis) perkara yang dimaksud," ujar Ali.
Sebelumnya, kuasa hukum John Irfan, Pahrozi menyinggung penyitaan uang TNI AU oleh KPK. Dia mempertanyakan langkah KPK yang menyita uang negara tersebut.
Dia menegaskan penyitaan uang negara itu melanggar Peraturan Panglima TNI Nomor 23 Tahun 2012 dan Pasal 50 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Dalam persidangan disebutkan TNI AU telah menyurati KPK dengan menyatakan uang tersebut merupakan ‘uang negara’ berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor 23 Tahun 2012 dan bukan uang hasil kejahatan. Secara yuridis, menurut Pahrozi penyitaan tersebut melanggar Pasal 50 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
"Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap uang atau surat berharga milik negara, daerah, baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pihak ketiga," kata Pahrozi.
Atas dasar itu, Pahrozi menunggu sikap resmi institusi TNI tentang penyitaan uang negara tersebut. Sikap resmi TNI AU itu, lanjut Pahrozi, bisa menegaskan isi surat TNI yang sudah pernah dikirim ke KPK dan terkait langkah KPK yang mengabaikan surat TNI.
"Pertama, menegaskan kembali isi surat yang pernah dikirim TNI AU ke KPK bahwa uang yang telah disita KPK itu merupakan uang negara, sehingga penyitaan tersebut melanggar hukum, dan kedua bagaimana sikap TNI AU terhadap langkah KPK yang tidak mengindahkan surat yang telah dikirim ke KPK," ucap Pahrozi.
Pahrozi juga menyatakan sikap resmi TNI AU akan membuat perkara kliennya objektif dan menjadi pertimbangan Majelis Hakim agar kliennya dibebaskan.
"Karena apa yang dilakukan KPK menyita uang negara tidak sah secara hukum sehingga terdakwa harus dibebaskan demi hukum," ujar Pahrozi.
Diketahui, total kerugian negara dalam kasus Heli AW-101 sebesar Rp738,9 miliar sebagaimana Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Pengadaan Helikopter Angkut AW-101 di TNI Angkatan Udara Tahun 2016 yang dilakukan oleh ahli dari Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi pada KPK Nomor: LHA-AF-05/DNA/08/2022 Tanggal 31 Agustus 2022.
Jumlah kerugian itu dikurangi dengan nilai pengembalian ke kas negara pada 7 November 2019 sebesar Rp31.689.290.000, penyitaan senilai Rp139.424.620.909 (milik TNI AU) serta pembayaran kepada AgustaWestland oleh PT Diratama Jaya Mandiri sebesar 29,5 juta dolar AS atau senilai Rp391.616.035.000 sehingga total seluruhnya Rp562.729.945.909. Tetapi, masih ada jasa giro/bank lintas tahun sebesar Rp1.542.917.963,6 sehingga total kekurangan uang pengganti yang dibebankan ke Irfan Kurnia adalah Rp177.712.972.054,60.
Sidang pembacaan vonis kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101 di TNI AU Tahun Anggaran 2016 dengan terdakwa tunggal Irfan Kurnia Saleh dijadwalkan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (22/2). Irfan dituntut 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.