REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan vonis mati terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J), mantan kadiv Propam Mabes Polri Ferdy Sambo. Atas vonis tersebut, Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso meminta Sambo berdiri untuk mendengarkan hukuman.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana mati," kata Hakim Wahyu, Senin (13/2/2023).
Putusan tersebut telah melewati tujuh bulan proses hukum kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Penantian masyarakat atas putusan hakim untuk kasus yang menjadi aib bagi kepolisian tersebut akhirnya berujung. Berikut fakta kasus Ferdy Sambo:
- Ajudan pribadi Sambo, Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J) tewas pada 8 Juli 2022. Pihak kepolisian kemudian menetapkan Sambo sebagai tersangka. Sidang terhadap Sambo dimulai pada 17 Oktober 2022 lalu. Persidangan dikatakan cepat karena sesuai keinginan Hakim Wahyu yang menginginkan persidangan yang singkat dan efisien.
- Pertama kalinya, Ferdy Sambo didakwa dengan dua perkara yaitu dugaan pembunuhan berencana dan dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice. Saat itu, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Ferdy Sambo dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP yang menjerat dengan hukuman maksimal mencapai hukuman mati.
- Ferdy Sambo didakwa melakukan dugaan pembunuhan berencana secara bersama empat orang lainnya, Putri Candrawathi, Richard Eliezer alias Bharada E, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal. Tidak hanya itu, Ferdy Sambo juga didakwa obstruction of justice, yakni Pasal 49 juncto Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke 2 dan 233 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 56 KUHP.
- Setelah sidang dakwaan, persidangan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan para saksi. Mulai dari saksi pelaku hingga saksi ahli dalam periode ini, fakta-fakta semakin terkuak dari kasus pembunuhan Brigadir J. Dari situ juga terkuak salah satunya dugaan kekerasan seksual yang dialami istri Sambo, Putri Candrawathi. Ferdy Sambo secara tegas menyampaikan ke hadapan Majelis Hakim bahwa istrinya telah diperkosa oleh Brigadir J di rumah Magelang.
- Kemudian terungkap bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan meragukan klaim Ferdy Sambo yang mengaku tidak menyuruh Bharada Richarel Eliezer menembak, tapi hanya meminta menghajar Brigadir Yosua Hutabarat (Brigadir J). Hakim melihat Sambo memiliki niatan untuk membunuh Brigadir J.
- Setelah sidang para saksi, Sambo akhirnya menjalani sidang tuntutan dari JPU. Pihak JPU menuntut hukuman seumur hidup.
- Jaksa menilai Ferdy Sambo terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana Brigadir J sesuai dengan Pasal 340 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Jaksa juga menilai unsur pembunuhan berencana, merampas nyawa orang lain dan unsur lain dalam Pasal 340, terpenuhi. Ferdy Sambo usai dituntut memiliki kesempatan membacakan nota pembelaan atau pledoi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (24/1/2023). Saat itu, Sambo memberikan judul pledoinya 'Setitik Harapan dalam Ruang Sesak Pengadilan'. Namun judul itu adalah pengganti dari judul yang diberikan sebelumnya.
- Setelah melalui proses persidangan, tibalah waktunya pada Senin (13/2/2023) Sambo menerima vonis hakim. "Menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya yang dilakukan secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana mati," jelas Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso di PN Jaksel, Senin (13/2/2023).
- Hakim Wahyu juga menepis motif pelecehan seksual terhadap terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J, Putri Candrawathi. "Majelis hakim tidak memperoleh keyakinan yang cukup bahwa korban Nofriansyah Joshua Hutabarat telah melakukan pelecehan seksual atau perkosaan, bahkan perbuatan yang lebih dari itu kepada Putri Candrawathi," ujar Wahyu dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin.
- Wahyu juga mengatakan bahwa tidak ada fakta yang mendukung Putri Candrawathi mengalami gangguan berupa stres pascatrauma akibat pelecehan seksual ataupun perkosaan. Dengan demikian, majelis hakim menyatakan bahwa adanya alasan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi patut dikesampingkan.