REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus anggota Densus 88 yang menjadi tersangka kasus pembunuhan bisa jadi momentum untuk melakukan evaluasi terhadap satuan anti-teror tersebut. Terlebih, tersangka memiliki jejak tindak kriminal yang cukup panjang.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Faisol Soleh mengatakan, pengungkapan kasus ini merupakan momentum yang baik untuk evaluasi. Evaluasi perlu dilakukan baik di tubuh Densus 88 maupun di instansi Polri.
Sebab, ia menekankan, Densus 88 memang merupakan bagian dari Polri. Karenanya, optimalisasi dari sisi pengawasan internal perlu dilakukan kepolisian karena setiap satuan-satuan di Polri memiliki pimpinan-pimpinan, termasuk Densus 88.
Apalagi, Faisol mengingatkan, dalam kepolisian semua tanggung jawab memang melekat kepada pimpinan masing-masing. Sebab, biar bagaimanapun, Densus 88 tetap berada di bawah POlri, tetap satuan yang berada di bawah komando kepolisian.
"Kapolri tetap memiliki wewenang yang kuat dan besar untuk mengawasi," kata Faisol kepada Republika, Kamis (9/2/2023).
Begitupun dengan pimpinan-pimpinan Densus 88 sampai ke bawah. Menurut Faisol, sistem pengawasan terintegrasi masih sangat perlu dioptimalkan dan ikhtiar ini lebih baik sebagai pencegahan dibandingkan muncul hal-hal seperti ini kembali.
Ia mengingatkan, jika muncul lagi kasus seperti ini tidak cuma akan mencoreng nama Densus 88, tapi Polri. Padahal, Faisol meyakini, tugas dari satuan-satuan di Polri memiliki tujuan yang baik dan tidak bisa disamaratakan semua negatif.
Menurut Faisol, optimalisasi sistem pengawasan terintegrasi antar pimpinan pimpinan ini sangat dibutuhkan di Indonesia. Tidak cuma di tubuh kepolisian, tapi kita memerlukan itu di instansi-instansi lain sampai ke tingkat presiden.
Selain pengawasan internal, ia berharap, pengawasan dari sisi eksternal Polri harus lebih aktif terlibat ke depannya. Sebab, bagaimanapun Densus 88 merupakan isu nasional yang tidak cuma dipandang sebagian masyarakat, tapi seluruh bangsa.
"Termasuk DPR sebagai representasi rakyat dalam mengeluarkan kebijakan evaluasi. Kompolnas, biarpun cuma mengeluarkan rekomendasi, paling tidak ikut membangun, memperkuat sistem pengawasan. Jadi, di luar dan di dalam harus dioptimalkan," ujar Faisol.
Anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri Bripda HS terancam dikenakan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemecatan. Bripda HS ditetapkan dijadikan tersangka kasus pembunuhan seorang sopir taksi online bernama Sony Rizal Taihitu (59 tahun).
"Tersangka HS tersebut sedang dalam proses pemberhentian tidak dengan hormat atas pelanggaran disiplin dan kode etik yang dilakukannya," ujar Juru Bicara Densus 88 Kombes Aswin Siregar, dalam keterangannya, Rabu (8/2/2023).
Selain itu, Aswin juga menyampaikan bahwa tersangka Bripda HS sudah dikenakan sanksi etik penahanan dalam kasus yang lain. Namun, ketika baru menjalani hukuman tersebut, Bripda HS melakukan perbuatan keji, dengan menghabisi nyawa Sony di kawasan Depok, Jawa Barat.
"Yang bersangkutan disidang disiplin dengan hukuman penempatan khusus dan teguran tertulis," kata Aswin menegaskan.