Jumat 10 Feb 2023 00:32 WIB

Tim Advokasi Kasus Ginjal Akut: Ini Tragedi Sudah Sepatutnya KLB

Tim advokasi kasus gangguan ginjal akut sebut ini sudah tragedi yang seharusnya KLB.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Diskusi publik dan media briefing Kasus Gagal Ginjal Akut Baru dan Kejadian Luar Biasa di Sadjoe Resto dan Cafe di Tebet, Jakarta, Kamis (9/2/2023). Tim advokasi kasus gangguan ginjal akut sebut ini sudah tragedi yang seharusnya KLB.
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Diskusi publik dan media briefing Kasus Gagal Ginjal Akut Baru dan Kejadian Luar Biasa di Sadjoe Resto dan Cafe di Tebet, Jakarta, Kamis (9/2/2023). Tim advokasi kasus gangguan ginjal akut sebut ini sudah tragedi yang seharusnya KLB.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi Keluarga Korban Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) Julius Ibrani mendesak Pemerintah segera menetapkan Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) menjadi kejadian luar biasa (KLB). Julius mengatakan, ini karena hingga setahun lebih kejadian, kasus GGAPA tidak juga selesai ditangani bahkan terbaru ada dua kasus yang kembali memakan korban.

"Ini sudah sepatutnya menjadi tragedi dan ditetapkan sebagai kejadian yang luar biasa. kalau tidak percaya juga, fatality rate-nya sudah di atas 50 persen," ujar Julius dalam keterangannya pada diskusi publik dan media briefing 'Kasus Gagal Ginjal Akut Baru dan Kejadian Luar Biasa' di Sadjoe Resto dan Cafe di Tebet, Jakarta, Kamis (9/2/2023).

Julius juga menilai belum seriusnya Pemerintah dalam penanganan GGAPA karena belum ditetapkannya GGAPA sebagai KLB. Padahal kata Julius, kasus GGAPA sudah memenuhi indikator kejadian luar biasa.

Indikator pertama, kasus GGAPA muncul dari produk fasilitas kesehatan yang resmi dari negara maupun swasta yang terdaftar secara resmi sehingga negara menjadi aktor utama dari kelalaian tersebut. Kedua, saat ini kasus GGAPA sudah menyebar di 27 provinsi dan mengakibatkan 201 anak meninggal dunia.

"Saya tidak akan bilang satu atau dua atau 200 tetapi satu saja meninggal ini sudah tragedi, yang dialami ini 201, lalu indikator selanjutnya ini berlangsung selama lebih dari setahun. durasi yang amat sangat panjang, tidak durasi yang singkat," ujarnya.

Julius melanjutkan, hingga detik ini juga tidak ada satu pun kebijakan manajemen krisis yang dikeluarkan Pemerintah dalam kasus GGAPA. Sehingga tidak ada satu SOP yang sama dalam penyelesaian kasus GGAPA di berbagai provinsi.

"tidak ada SOP yang diturunkan secara nasional kepada 27 provinsi sehingga fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan menerapkan treatment yang sama, dan pendekatan yang sama," ujarnya.

"Selanjutnya belum pernah ada identifikasi, bukan hanya identifikasi terhadap pada ginjal itu sendiri, penyakit penyerta yang diakibatkan oleh gagal ginjal ini belum ada," tambahnya.

Dia juga mengamini pernyataan Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani tentang dilema Pemerintah yang belum juga menetapkan KLB seperti halnya menetapkan kebijakan karantina atau PSBB saat awal pandemi. Dia meminta Pemerintah belajar dari kasus tersebut agar GGAPA tidak semakin bertambah banyak.

"Jangan mengulang kebodohan, bukan kesalahan lagi, tetapi ketidakmampuan akibat bebalnya negara ini untuk bertanggung jawab sehingga telat menetapkan kejadian luar biasa atau KLB," ujarnya.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya masih menunggu penelitian antara laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan pembandingnya terkait ditemukannya dua kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA). Hingga kini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum dapat menetapkan kejadian luar biasa (KLB) terhadap penyakit tersebut.

"Ini yang kejadian kan satu dan masih perlu ditentukan lagi penyebabnya itu apa, karena ada perbedaan hasil dari dua laboratorium ini. Nah itu yang sekarang kita tunggu saja," ujar Budi usai rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Rabu (8/2/2023).

Adapun saat ini, Kemenkes telah berkoordinasi dengan BPOM untuk mengimbau perusahaan obat untuk melakukan penarikan sukarela atau voluntary withdrawal. Pihaknya meminta dokter anak untuk meresepkan obat berisiko lebih rendah.

"Kita sudah berkoordinasi dengan BPOM untuk mengimbau perusahaannya akan melakukan voluntary withdrawal. Kedua, kita juga sudah mengimbau kepada IDAI agar meresepkan obat-obat yang berisiko lebih rendah, nah itu mereka yang nanti akan menentukan obatnya sendiri," ujar Budi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement