Kamis 09 Feb 2023 19:34 WIB

Gagal Ginjal Akut Muncul Lagi, Ombudsman: Pemerintah Kecolongan Besar

Artinya peredaran obat mengandung EG dan DEG ini masih ada dan masih menjadi momok.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Mansyur Faqih
Pekerja merapikan obat di Pasar Pramuka, Jakarta, Rabu (8/2/2023). Badan Pengawas Obat dan Makanan mengumumkan obat sirup Praxion dinyatakan aman dikonsumsi berdasarkan serangkaian pengujian yang telah dilakukan menggunakan tujuh sampel dengan hasil memenuhi syarat.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pekerja merapikan obat di Pasar Pramuka, Jakarta, Rabu (8/2/2023). Badan Pengawas Obat dan Makanan mengumumkan obat sirup Praxion dinyatakan aman dikonsumsi berdasarkan serangkaian pengujian yang telah dilakukan menggunakan tujuh sampel dengan hasil memenuhi syarat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Munculnya lagi dua kasus kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) dianggap sebagai kegagalan pemerintah. Khususnya dalam pengawasan obat yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di atas ambang batas.

Kepala Keasistenan Riksa VI Ombudsman RI Ahmad Sobirin menilai, seharusnya kasus ini tidak muncul lagi. Apalagi setelah pemerintah menyebut telah menangani kasus ini dan menarik peredaran obat.

"Kami menganggap bahwa apa yang terjadi saat ini adalah kecolongan besar, karena pascabulan Desember, seharusnya kasus ini tidak terjadi lagi," ujar Sobirin dalam keterangannya di diskusi publik di Jakarta, Kamis (9/2/2023).

Akan tetapi, lanjut Sobirin, justru kini muncul kembali kasus GGAPA. Ini berarti obat yang mengandung EG dan DEG yang berbahaya masih ada di masyarakat.

"Ini artinya peredaran obat yang mengandung EG dan DEG ini masih ada di masyarakat dan masih menjadi momok bagi orang tua. Maka kami sampaikan masih melakukan monitoring terhadap laporan akhir kami yang kami mintakan kepada Kemenkes dan BPOM," ujarnya.

Sobirin mengatakan, Ombudsman juga telah melakukan serangkaian pemeriksaan dalam investigasi atas prakarsa sendiri (IAPS). Yaitu mengenai dugaan maladministrasi dalam penanggulangan kasus GGAPA kepada anak ke Kementerian Kesehatan dan pengawasan obat sirop oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Menurut Sobirin, sejak awal Kemenkes tidak melakukan identifikasi atau pendataan sehingga kasus GGAPA ini sudah banyak terjadi. Kemenkes juga tidak menetapkan GGAPA sebagai KLB sehingga berdampak terhadap pasifnya respons pemerintah.

"Maka pemerintah pasif dalam menangani kasus tersebut sebagaimana standar kebijakan dan standar pelayanan KLB dan sampai saat ini tidak ada KLB yang ditetapkan pemerintah GGAPA ini," ujarnya.

Pemerintah juga tidak kompeten dalam menyosialisasikan dan menegakkan aturan secara luas dalam hal tata laksana penanganan GGAPA. Pemerintah juga tidak menyampaikan secara luas mengenai penyebab GGAPA dari cemaran EG dan DEG yang tidak sesuai ambang batas.

Sementara kepada BPOM, Ombudsman menemukan BPOM tidak optimal dalam mengawasi proses peredaran obat sirop mengandung EG dan DEG yang melanggar aturan ambang batas. Hasil investigasi kata Sobirin, sudah disampaikan ke Kemenkes dan BPOM.

"Kami mintakan kepada Kemenkes dan BPOM dan ternyata BPOM sudah menjawab dan sudah melakukan beberapa langkah tapi sebagai informasi bahwa apa yang kami mintakan ke Kemenkes sampai saat ini belum ada respons kami sudah surati Menkes bulan lalu juga belum ada jawaban," ujarnya.

Karena itu, dia meminta pemerintah serius dalam menangani kasus GGAPA agar tidak terulang kembali.

"Kami berharap Kemenkes serius untuk menangani GGAPA ini jangan hanya berkomentar di media. Tetapi secara masif, melalui kewenangannya ke faskes dan nakes juga dalam menangani GGAPA," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement