Selasa 31 Jan 2023 21:50 WIB

Komen Kasus Sambo, Guru Besar Unkris Prof Gayus Sesalkan Street Justice yang Menimpanya

Dalam dunia peradilan atau dunia hukum, tidak boleh ada street justice.

Mantan Hakim Agung yang kini menjadi Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Prof Gayus Lumbuun.
Foto: Antara/Dhoni Setiawan
Mantan Hakim Agung yang kini menjadi Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Prof Gayus Lumbuun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Prof Gayus Lumbuun terkait kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang ditayangkan sebuah stasiun televisi beberapa waktu lalu, menuai polemik publik. Terkesan bahwa pernyataan mantan Hakim Agung RI tersebut memberikan pembelaan terhadap tersangka Ferdy Sambo.

Imbasnya, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) tersebut pun menjadi korban street justice (pengadilan jalanan), yang menudingnya membela Ferdy Sambo. Meski street justice itu muncul di dunia maya, tak urung Prof Gayus menyampaikan penyesalannya.

“Street justice itu sangat tidak baik karena orang tidak menguasai hukum, tapi hanya bisa memaki-maki, menghina, dan merendahkan orang lain. Street justice bisa menyesatkan publik,” kata Prof Gayus dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/1/2023).

Street justice yang menimpa Prof Gayus itu bermula dari pernyataannya bahwa sebuah putusan pengadilan yang dilakukan oleh Majelis Hakim haruslah mengandung unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Hal ini menjadi pertimbangan logis dari Majelis Hakim, pun terkait dengan kasus pembunuhan Brigadir J.

 

Dalam tayangan Karni Ilyas Club yang tayang di Youtube, Prof Gayus mengatakan, berdasarkan pernyataan jaksa penuntut umum (JPU) pemicu pertama pembunuhan terhadap Brigadir J adalah adanya telepon dari Putri Candrawati kepada Ferdy Sambo terkait dugaan adanya pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir J. “Tentu menjadi pertanyaan, apakah FS punya keinginan membunuh tanpa adanya motif. Nah berita pelecehan seksual ini yang kemudian dijadikan sebagai motif pembunuhan,” kata dia.

Tetapi karena tidak ada bukti visum dan lainnya, maka semua pihak sepakat kalau pembunuhan itu terjadi bukan karena pelecehan. Bagi Prof Gayus, kalau JPU tidak bisa membuktikan dalil pelecehan, lantas apa motifnya? “Dasar dari sebuah pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) adalah bagian tertinggi yang harus dicermati. Tanpa dasar tidak akan terjadi,” kata Prof Gayus.

Prof Gayus melontarkan pertanyaan apa yang menjadi dasar Ferdy Sambo melakukan pembunuhan terhadap Brigadir J? Beberapa waktu lalu pengacara keluarga Brigadir J mengatakan, kasus ini berkaitan dengan 303. “Saya tanyakan, apakah tersebut sudah diselidiki, ternyata belum. Di sinilah ada missed link. Kalau tidak diakui oleh JPU pembunuhan karena ada pelecehan, lantas apa dasarnya? Sampai hari ini tidak terungkap,” jelasnya.

Menurut Prof Gayus, semua terdakwa harus mendapatkan keadilan. Tidak serta merta dijatuhi hukuman tanpa kejelasan apa penyebab terjadinya pembunuhan itu.

Pernyataan tersebut kemudian menuai pro dan kontra yang pada akhirnya berujung munculnya street justice. Menyitir ucapan kriminolog UI Mulyana W. Kusumah, street justice itu diibaratkan geng pita kuning. “Di luar negeri street justice juga disebut sebagai geng pita kuning karena segala cacian itu dimuat di yellow news paper dan ini menyesatkan," cetus Prog Gayus.

Karena itu, lanjut Prof Gayus, dalam dunia peradilan atau dunia hukum, tidak boleh ada street justice. Bagi dia, tidak boleh ada geng pita kuning di Indonesia karena sangat berbahaya, mempengaruhi pemikiran orang. "Sebab mereka yang menghina-hina, melontarkan caci maki belum tentu memahami konstruksi dan filosofi hukum sebenarnya. Kalau social justice (keadilan sosial) sah-sah saja,” imbuhnya.

Prof Gayus mengibaratkan bahwa pernyataannya terkait kasus pembunuhan Brigadir J sebagaimana halnya dengan filosofi seekor keledai yang dituntun bapak dan anak. Keledai jika dinaiki bapaknya, maka masyarakat akan menilai bapaknya kejam. Dinaiki anak, masyarakat akan menilai anaknya kurang ajar. Pun ketika keledai tidak dinaiki oleh keduanya atau bahkan dinaiki oleh bapak anak, tetap di mata masyarakat akan salah.

“Artinya bahwa dalam hidup ini, apapun yang kita lakukan tetap saja ada pro dan kontra. Tetap ada yang berpendapat berbeda-beda. Punya sudut pandang yang tidak sama dengan kita. Kita tidak mungkin dapat memenuhi semua saran orang,” kata Prof Gayus.

Tetapi Prof Gayus dengan tegas mengatakan, “I am who I am (saya adalah saya). Perkara pahit atau manis dalam suatu kejadian perkara bukan hal yang penting bagi saya. Namun, saya akan tetap berjuang memberikan pandangan hukum yang benar atas sebuah kejadian perkara. Sekalipun saya direndahkan tidak mungkin menjadi sampah, pun disanjung tak mungkin menjadi rembulan.”

Meski demikian, dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Prof Gayus mengajak masyarakat untuk belajar memahami suatu perkara dari banyak sisi, bukan dengan mudahnya melakukan street justice. Karena street justice itu berbahaya dan bisa menyesatkan.

“Masyarakat harus bisa memahami bahwa social justice itu mengerti persoalan dan menyampaikan masukan secara santun, sementara street justice cenderung tidak memahami persoalan, tapi langsung melakukan justifikasi, marah-marah bahkan mencaci maki,” tutup Prof Gayus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement