Kamis 26 Jan 2023 13:35 WIB

Sidang Tragedi Kanjuruhan Dinilai tak Berpihak pada Korban

PBSI menilai sidang Tragedi Kanjuruhan tidak berpihak kepada para korban.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
 Polisi membawa perisai mereka selama persiapan keamanan untuk sidang pertama penyerbuan stadion Kajuruhan di Surabaya, Jawa Timur. PBSI menilai sidang Tragedi Kanjuruhan tidak berpihak kepada para korban.
Foto: EPA-EFE/MAST IRHAM
Polisi membawa perisai mereka selama persiapan keamanan untuk sidang pertama penyerbuan stadion Kajuruhan di Surabaya, Jawa Timur. PBSI menilai sidang Tragedi Kanjuruhan tidak berpihak kepada para korban.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) memandang sidang tragedi Kanjuruhan dibalut dengan kejanggalan. PBHI menuding sidang tersebut tak berperspektif untuk keadilan bagi korban.

Pertama, PBHI menyinggung hasil investigasi TGIPF dan Komnas HAM yang sengaja tidak mengurai hierarki pertanggungjawaban secara utuh dan holistik. Caranya dengan menghilangkan unsur negara (mekanisme ijin keramaian dan pengamanan) dan komando aparat keamanan (Polri dan TNI).

Baca Juga

Padahal PBHI menemukan pasca Kapolres Malang meninggalkan Stadion, ada serangan sistematis dan masif oleh puluhan aparat dengan menembakkan gas air mata secara membabi buta ke tribun selatan.

"Ada tujuan khusus dari penugasan TGIPF dan Komnas HAM yakni untuk merekayasa investigasi dan temuan agar tidak mengarah pada pelanggaran HAM Berat. Jadi, tidak sampai pada pertanggungjawaban di level atas," kata Ketua PBHI Julius Ibrani dalam keterangannya, Kamis (26/1/2023).

Kedua, PBHI menyatakan proses hukum tidak dilakukan secara transparan, terjadi pelambatan proses secara sengaja, tanpa melibatkan korban, dan terjadi konflik kepentingan pembelaan oleh Kepolisian terhadap 3 terdakwa dari Kepolisian. Akibatnya, penyidikan tidak jelas arahnya, tidak jelas bukti dan saksinya.

"Bahkan Tersangka AHL (Direktur Utama PT LIB) dikeluarkan dari tahanan karena telah habis masa penahanan oleh Penyidik Polda Jawa Timur, akibat berkas penyidikan yang tidak kunjung diselesaikan," ujar Julius.

Ketiga, PBHI menyoroti akses persidangan yang sengaja dipindahkan dari Malang ke Surabaya, lalu digelar secara ditutup. PBHI mengingatkan peristiwa dan pasal yang didakwakan adalah tindak pidana umum yang seharusnya disidangkan secara terbuka.

"Tidak bisa beralasan keamanan dan ketertiban padahal tidak terjadi apa-apa. Bahkan, keluarga korban dihalang-halangi untuk menyaksikan persidangan, lalu jurnalis juga dilarang untuk meliput secara langsung," ucap Julius.

Keempat, PBHI mencatat pelanggaran hak asasi keluarga korban, diantaranya pelanggaran terhadap equality before the law dan hak memperoleh keadilan.

"Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan MA harus memeriksa pemindahan dan ditutupnya sidang Tragedi Kanjuruhan, karena melanggar Pasal 13 ayat (3) UU 48/2009 sehingga berpotensi batal demi hukum," tegas Julius.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanggapi eksepsi tiga polisi terdakwa perkara Tragedi Kanjuruhan dalam persidangan, Selasa (24/1). Tiga polisi yang dimaksud adalah Danki 3 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, dan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi.

JPU membantah apa yang disampaikan dalam eksepsi terdakwa yang menyebut dakwaan JPU disusun dengan tidak cermat, rapuh, dan meraba-raba. JPU menegaskan telah mencantumkan pasal konkret dasar dakwaan, yakni Pasal 359 dan 360 ayat 1 dan 2 KUHP, yang disusun dalam dakwaan kumulatif dan masih berlaku sebagai hukum positif.

Tiga anggota polisi yang menjadi terdakwa kasus tragedi Kanjuruhan itu membacakan nota keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Surabaya, Jumat (20/1). Dalam eksepsi yang dibacakan kuasa hukum ketiga terdakwa, AKBP Nurul Anaturoh menilai, dakwaan jaksa tak jelas, tak rinci, serta rapuh dan terkesan meraba-raba.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement