REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR, Edy Wuryanto, mendukung adanya transformasi kesehatan lewat revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Revisi undang-undang tersebut diketahui akan menggunakan metode omnibus yang akan menggabungkan undang-undang lain.
Namun, Komisi IX telah menerima aspirasi dari berbagai organisasi profesi di bidang kesehatan. Mereka meminta agar undang-undang profesi di bidang kesehatan tak dihapus saat dimasukkan ke revisi UU Kesehatan.
"Jangan sampai beberapa undang-undang lalu hilang, tapi pasal yang beririsan saja yang direvisi, tidak harus menghilangkan undang-undangnya. Ada kegalauan Undang-Undang Keperawatan hilang, dulu diperjuangkannya sulit, lalu mereka komplain, demo," ujar Edy dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, Selasa (24/1/2023).
Badan Legislasi (Baleg) DPR yang ditugaskan membahas omnibus revisi UU Kesehatan sebelumnya menjelaskan, perubahan tersebut setidaknya akan menggabungkan 13 undang-undang. Adapun saat ini mereka masih dalam tahap penyusunan draf.
Sejumlah undang-undang disebut akan masuk ke dalam revisi UU Kesehatan yang menggunakan mekanisme omnibus. Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Selain itu, ada pula Undang-Undang 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Serta, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
"Undang-Undang Kebidanan baru saja lahir untuk memperkuat profesinya, tiba-tiba ada isu mau hilang. Termasuk kedokteran, jadi sebetulnya kegalauan mereka itu bukan pada konstruksi Undang-Undang Kesehatan omnibus law-nya, tetapi khawatir undang-undang mereka hilang," ujar Edy.
"Ini yang harus dipertimbangkan betul, sehingga mengurangi resistensi publik terhadap Undang-Undang Kesehatan omnibus law itu, dan saya setuju itu. Jadi, menurut saya, beberapa undang-undang yang baru lahir dan baru penguatan, jangan kemudian hilanglah," sambungnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Slamet Budiarto menolak pembahasan revisi UU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus. Sebab, revisi undang-undang tersebut menghadirkan kemungkinan pemecah-belahan organisasi profesi kesehatan.
Revisi UU Kesehatan akan menggunakan mekanisme omnibus law atau dengan menggabungkan undang-undang lainnya. Undang-undang yang akan digabungkan dalam revisi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
"Ada indikasi dipecah-belahnya kami organisasi profesi, bahwa kami di kedokteran hanya satu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), PPNI hanya satu, Persatuan Perawat Nasional ,IAI juga sama, IPI juga sama, ada klausul yang dimungkinkan memecah-belah," ujar Slamet di gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/1).
Selanjutnya adalah permasalahan adanya aturan mengenai izin praktik. Ia menjelaskan bahwa lewat revisi UU Kesehatan, pencapaian kompetensi ditentukan oleh menteri kesehatan dan pemerintah daerah, padahal seharusnya itu adalah ranah organisasi profesi.
"Intinya bahwa undang-undang ini tujuannya tadi katakan filosofinya baik, tapi tidak harus mencabut undang-undang profesi. Ada masalah pasal, salah sedikit itu perlu diperbaiki, tapi tidak mencabut," ujar Slamet.