Jumat 20 Jan 2023 15:50 WIB

Peringatan untuk Kreator Konten Ngemis Online: Eksploitasi Lansia adalah Tindak Pidana

Bareskrim mengingatkan konten kreator agar menyetop produksi konten yang tidak baik.

(Foto: ilustrasi aplikasi TikTok)
Foto:

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Prof. Bagong Suyanto mengomentari fenomena pengemis online di media sosial TikTok yang tengah menjadi sorotan. Kegiatan ngemis online dilakukan konten kreator dengan mengeksploitasi diri sendiri atau orang lain untuk mendapatkan hadiah.

Bagong mengecam adanya konten kreator yang mencoba mengeksploitasi orang tua mereka. Menurutnya, di belakang layar pastinya banyak anak muda yang berperan, terutama dalam mengoperasikan media sosial tersebut.

"Itu yang harus ditangkap. Ini masuk kategori orang yang bukan karena terpaksa tapi justru dia mengeksploitasi penderitaan orang-orang yang tidak berdaya untuk memperkaya dirinya sendiri," ujar Dekan FISIP Unair tersebut.

Bagong mengatakan, substansi dari yang lakukan oleh pengemis tersebut tidaklah berbeda, yaitu meminta belas kasihan orang lain agar mendapatkan sesuatu. Kegiatan yang disiarkan secara live tersebut mulai dari mandi lumpur, berendam di air kotor, hingga mengguyurkan diri dengan air dingin selama berjam-jam.

Bagong pun berpesan agar pemerintah dan masyarakat bertindak adil dan tidak menstigma negatif terhadap orang miskin. Sebab, banyak juga masyarakat miskin yang perlu bantuan sehingga terpaksa untuk mengemis. Penindakan keras justru perlu dilakukan kepada orang yang memanfaatkan masyarakat miskin untuk kekayaan pribadi.

"Ini harus dipilah, kita tidak bisa menghakimi semuanya salah, harus dilihat siapa yang melakukan karena dia butuh hidup, itu tidak masalah. Ini kan sama seperti artis yang membuka donasi terbuka, kan sama. Lah kenapa kalau artis tidak dikecam, orang miskin dikecam," kata dia.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajat Sulistyo Widhyarto mengemukakan bahwa fenomena mengemis melalui media sosial atau medsos akan hilang dengan sendirinya jika warganet tidak mendukung kegiatan tersebut.

"Kalau tidak disawer oleh netizen itu hilang dengan sendirinya," kata Derajat saat dihubungi di Yogyakarta, Jumat (20/1/2023).

Menurut dia, pemerintah tidak perlu mengeluarkan regulasi khusus berkenaan dengan fenomena baru tersebut. Namun, ia melanjutkan, pemerintah perlu mengedukasi pengguna medsos agar tidak mendukung upaya-upaya untuk memanfaatkan rasa belas kasihan orang lain guna mendapat keuntungan di medsos, yang kadang dilakukan dengan mengeksploitasi warga rentan.

"Saya kira netizen bukan orang bodoh. Memang kadang kala mereka bisa mengutamakan emosi sehingga memberikan saweran karena kasihan," kata dia.

Menurut dia, pengguna media sosial di Indonesia perlu dididik supaya tidak mendukung tindakan eksploitasi di platform media sosial. Derajat juga mengemukakan bahwa di antara pengguna medsos ada yang menganggap aksi mengemis via daring sebagai tontonan yang menghibur.

Ia menyebut sikap itu sebagai salah satu tanda kemunduran atau krisis sosial dalam masyarakat yang terjadi akibat efek samping perkembangan cepat teknologi informasi.

"Adanya medsos (memicu) banyak perubahan perilaku, termasuk orang mendefinisikan hiburan sudah berbeda. Bahkan tontonan menyakiti kucing juga dianggap hiburan," kata dia.

"Mereka mengikuti zaman, artinya kalau secara sosial pengemis itu tetap ada, cuma sekarang instrumennya saja yang berbeda," dia menambahkan.

 

photo
Ilustrasi kriteria kemiskinan - (republika/mardiah)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement