REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) menilai peran terdakwa Richard Eliezer (RE) bukan sebagai pelaku yang menguak fakta dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J).
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Ketut Sumedana mengatakan, sebagai salah satu pelaku utama dan eksekutor pembunuhan berencana di Duren Tiga 46 Jakarta Selatan (Jaksel) itu, Richard tak dapat masuk dalam kriteria sebagai justice collaborator (JC), atau pelaku yang bekerjasama dalam pengungkapan kejahatannya.
“Delictum (perbuatan) yang dilakukan oleh terdakwa Richard Eliezer sebagai eksekutor, yakni pelaku utama (pembunuhan berencana Brigadir J), bukanlah sebagai penguak fakta utama,” kata Ketut dalam penjelasannya, di Kejakgung, Jakarta, Kamis (19/1).
Namun begitu, kata Ketut menerangkan tim jaksa penuntut umum (JPU) mempertimbangkan penuntutan yang dinilai ringan selama 12 tahun, atas peran kooperatif Richard sebagai terdakwa pelaku pembunuhan berencana.
“Peran kerja sama dari terdakwa Richard Eliezer, sudah dipertimbangkan sebagai terdakwa yang kooperatif di dalam surat tuntutan jaksa penuntut umum,” terang Ketut.
Kejakgung, juga menilai status Richard yang disebut sebagai JC dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, tak mendapatkan tempat dalam legalitas. Sebab dikatakan Ketut, sebagai terdakwa pelaku utama dan eksekutor dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J tersebut, menghalangi Richard, untuk mendapatkan status JC.
“Terdakwa Richard Eliezer sebagai pelaku utama yang menyebabkan sempurnanya tindak pidana pembunuhan berencana, tidak dapat direkomendasikan untuk mendapatkan status justice collaborator,” terang Ketut.
Bukan cuma soal peran terdakwa Richard itu yang menghalanginya untuk mendapatkan status JC. Pokok kasus yang menjerat pemuda 24 tahun asal Manado, Sulawesi Selatan (Sulut) itu, juga tak masuk dalam kriteria kasus yang memberikan sarana pemberian status JC terhadap pelaku kejahatan.
Ketut menerangkan, istilah JC mengacu pada dua dasar hukum. Undang-undang (UU) 31/2014 tentang Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 4/2011 tentang whistleblower, dan JC. Pasal 28 ayat (2) huruf a UU LPSK tak memasukkan tindak pidana pembunuhan berencana sebagai perkara yang membuka peluang pemberian JC terhadap pelakunya. “Bahwa kasus pembunuhan berencana bukanlah termasuk yang diatur dalam pemberian status justice collaborator,” begitu terang Ketut.
JC, kata Ketut, menurut UU LPSK hanya diberikan kepada pelaku kejahatan, yang melakukan tindak pidana tertentu dan khusus. Soal tindak pidana tertentu dan khusus itu, mengacu pada SEMA 4/2011. Dalam SEMA menjelaskan, hanya ada enam jenis tindak pidana tertentu, dan khusus yang membuka peluang pemberian JC. “Antara lainnya itu, adalah tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang (TPPU), tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan tindak pidana lainnya yang masuk kategori kejahatan ekonomi, atau tindak pidana yang bersifat terorganisir,” jelas Ketut.
Dengan dua dasar hukum tersebut, Ketut melanjutkan, status JC terdakwa Richard dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, tak sesuai peruntukan.
Namun begitu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyesalkan tuntutan 12 tahun yang diajukan jaksa kepada hakim untuk menghukum Richard.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi, Kamis (19/1) menyampaikan, Richard dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, bukan sebagai pelaku utama. Sehingga menurutnya, Richard sebagai terdakwa berhak menyandang status JC, untuk keringanan penuntutan, pun penghukuman.
“Kalau dalam kualitas perbuatan, rambu yang diberikan oleh undang-undang, yakni bukan pelaku utama. Kami (LPSK), sudah tanya ke penyidik ketika permohonan JC E (Richard) dulu (saat penyidikan). Katanya penyidik, E (Richard) bukan pelaku utama,” ujar Edwin.
Pengacara Ronny Talapessy pun menyampaikan, penjelasan kejaksaan tentang peran Richard, sebagai pelaku utama pembunuhan, yang membuatnya dituntut 12 tahun juga tak dapat diterima. Kata Ronny, meskipun Richard mengakui, pun terbukti menembak Brigadir J. Tetapi penembakan tersebut bukan berasal dari niat untuk membunuh.
Richard, kata Ronny, sesuai fakta penyidikan, dan di persidangan, mengaku menarik pelatuk Glock-17 itu, karena atas perintah terdakwa Ferdy Sambo yang menjadi atasannya, serta dalang utama perencanaan pembunuhan di Duren Tiga 46 itu.
Pengakuan Richard tentang peran Ferdy Sambo tersebut, yang menurut Ronny, dapat menilai posisi kliennya sebagai terdakwa penguak fakta utama dalam pengungkapan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J tersebut.
“Sejak awal Richard ini kan sudah konsisten, dan dia kooperatif bekerja sama dengan penyidik di kepolisian, dan jaksa selama persidangan untuk mendapatkan justice collaborator. Dan itu tidak diperhatikan oleh jaksa dalam penuntutan,” begitu kata Ronny.
Tuntutan 12 tahun penjara dari jaksa untuk terdakwa Richard ini memang tak terduga. Karena melihat tuntutan jaksa terhadap pelaku turut serta lainnya, yang ringan. JPU pada Senin (16/1) menuntut dua pelaku turut serta pembunuhan Brigadir J, yakni terdakwa Kuat Maruf (KM), dan terdakwa Ricky Rizal (RR) dengan tuntutan masing-masing selama 8 tahun penjara.
Tuntutan 8 tahun penjara, juga jaksa layangkan terhadap terdakwa Putri Candrawathi, Rabu (18/1). Namun jaksa dalam tuntutan terhadap terdakwa Ferdy Sambo, sebagai aktor utama, dalang perencanaan, dan pelaku pembunuhan Brigadir J, meminta hakim menghukum mantan Kadiv Propam Polri itu dengan pidana penjara seumur hidup.