Selasa 03 Jan 2023 14:11 WIB

Jika Perppu Cipta Kerja tak Ditolak DPR, MK Beri Lampu Hijau untuk Digugat

Jika Perppu Cipta Kerja disetujui DPR, UU itu bisa digugat kembali ke MK.

Mahkamah Konstitusi, ilustrasi
Mahkamah Konstitusi, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Dian Fath Risalah, Nawir Arsyad Akbar, Amri Amrullah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Hal itu diumumkan yang Menko Perekonomian didampingi Menko Polhukam dan Wamenkumham, pada akhir pekan lalu.

Baca Juga

Pengamat komunikasi politik, Muhammad Jamiluddin Ritonga menilai, keberadaan Perppu Cipta Kerja telah mengabaikan keberadaan DPR RI. Karenanya, ia berpendapat, DPR RI sudah seharusnya menolak Perppu Cipta Kerja tersebut.

"DPR RI seharusnya menolak Perppu tersebut. Presiden terkesan sudah tidak menganggap DPR RI," kata Jamiluddin Ritonga, Selasa (3/1/2022).

Padahal, ia mengingatkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah meminta untuk merevisi UU Cipta Kerja dalam kurun waktu dua tahun. Revisi UU Cipta Kerja tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri dan memang harus melalui pembahasan bersama DPR RI sesuai putusan MK.

Untuk itu, Jamiluddin menekankan, Perppu tersebut telah menabrak tatanan hukum yang berlaku. Ia melihat, konstitusi terkesan ditabrak begitu saja, sehingga DPR RI harusnya marah atas tindakan pemerintah tersebut.

Menurut Jamiluddin, DPR idealnya menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tersebut. DPR harus berani memposisikan setara dengan presiden. Sebab, dalam konstitusi kedudukan DPR memang setara dengan presiden.

DPR RI, lanjut Jamiluddin, tidak boleh hanya menjadi lembaga stempel pemerintah. Menurut Jamiluddin, DPR RI harus terdepan mewujudkan fungsinya, khususnya fungsi legislasi. Hanya dengan begitu, DPR menjadi terhormat di mata rakyat Indonesia.

"DPR harus kuat, sehingga rakyat bangga atas wakil-wakilnya yang duduk di DPR," ujar Jamiluddin.

Senada, Direktur PSHK UII, Allan Fatchan Gani Wardhana juga berharap DPR menolak Perppu Cipta Kerja. Sesuai perintah putusan MK pada 2021, UU Cipta Kerja harus diperbaiki terutama proses pembuatannya yang harus melibatkan publik lewat revisi di DPR.

 

"DPR harus menolak Perppu Ciptaker karena Perpu tersebut berasal dari pertimbangan subjektif Presiden. Meskipun saya pun ragu apakah DPR mau menolak karena parlemen sudah dikuasai partai pemerintah," kata Allan, Selasa.

Allan menambahkan, cara lain untuk membatalkan Perppu Ciptaker adalah mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. Langkah hukum tersebut bisa dilakukan setelah Perppu dikeluarkan.

 

 

 

Lebih lanjut ia menjelaskan, Perppu bisa diuji ke MK untuk menilai apakah kegentingan memaksanya sesuai dgn putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menetapkan tiga kategori kegentingan yang memaksa. Karena, menurutnya Perppu ini adalah bentuk pelecehan terhadap Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

"Perintah putusan tersebut kan UU Cipta Kerja harus diperbaiki terutama proses penyusunannya yang harus ada partisipasi publik yang bermakna. Tapi pemerintah ambil jalan pintas, dengan menggunakan dalih kegentingan yang memaksa untuk meminggirkan partisipasi publik," tuturnya.

Direktur LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan, mantan Ketua MA Bagir Manan menyampaikan keadaan genting yang terdapat dalam UUD 1945 adalah suatu keadaan krisis apabila terdapat suatu gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak dan kemendesakan. Kemendesakan ini dapat terjadi apabila berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.

"Penerbitan Perppu seharusnya tidak menjadi alat kekuasaan Presiden semata, walaupun merupakan kekuasaan absolut yang dibenarkan konstitusi (constitutional dictatorship) penerbitan Perppu harus menjadi wewenang bersyarat bukan wewenang yang secara hukum umum melekat pada Presiden," tegasnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement