REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senator DPD asal Jawa Tengah, DR Abdul Kholik, mendesak agar pemerintah segera memberikan perlindungan terhadap harga beras petani. Ini karena bila beras petani harganya murah sehingga mereka tidak memperoleh pendapatan karena habis untuk ongkos produksi.
"Mahalnya biaya sarana produksi beras juga terus meningkat. Misalnya, harga pupuk dan upah pekerja petani terus naik. Semestinya kisaran harga gabah petani perkuintalnya tidak boleh kurang dari Rp 600 ribu. Kalau pelru pemerintah mensubsidi harga beras tersebut,'' kata Abdul Kholik, di Jakarta, Senin pagi (26/12).
Bila harga gabahmenguntungkan petani, lanjut Kholik, hal itu akan menggairahkan sektor pertanian dan menarik minat kaum muda. Sehingga akan mengurangi tekanan urbanisasi. Selanjunya produksi gabah dalam negeri karena bergairah dan dikerjakan kaum muda, pasti akan meningkat.
''Sebagai perbandingan dengan negara Thailand, Vietnam, Jepang, bahkan Amerika Serikat mereka sangat memberikan perlindungan yang optimal atau proteksi kepada petaninya. Ini karena mereka berprinsip pangan adalah sumber ketahanan negara. Akibatnya, kebutuhan pangan harus bisa dipenuhi dan disediakan oleh produk dalam negeri. Mereka tidak tergantung pangan kepada negara lain, bahkan mereka melakukan ekspor. Ini terbalik dengan Indonesia," tegas Kholik.
Menurut Kholik, keterbalikan keadaan Indonesia dibandingkan negara lain sungguh sebuah ironi karena Indonesia adalah negara agraris. Selain itu sebagian besar warga negaranya berprofesi sebagai petani. Maka, bila petani sejahtera dengan sendirnya negara pun akan sejahtera.
''Kebutuhan pangan negara Indonesia tidak boleh diamankan dan dipenuhi melalui impor. Ini sangat berbahaya, bila terjadi konflik di kawasan dunia, maka rakyat terancam kesulitan pangan. Ingat kata Mahatma Gandi bahwa yang disebut bangsa yang merdeka salah satu indikiasinya adalah apabila negara itu bisa memenuhi ketersediaan pangannya sendiri,'' ujar Kholik.
Kholik menyatakan saat ini juga harus dilakukan auidit impor beras. Sebab, kenyataan ini sulit diterima karena pemerintah pun selama ini sudah berungkali mengatakan Indonesia mengalami surplus beras (swasembada beras).''Kenapa data beras selalu berbeda antar instansi sehingga pada akhirnya harus impor dengan alasan pemenuhan kebututuhan cadangan pangan. Maka harus ada audit imor beras secara transparan dan independen,'' kata Kholik menandaskan.