Jumat 23 Dec 2022 21:19 WIB

Ruang Gerak Radikalisme dan Terorisme di Indonesia Semakin Menciut

Radikalisme dan terorisme juga bisa dikaitkan dengan kelompok bersenjata di Papua.

Keluarga jenazah almarhum Aiptu Anumerta Sofyan, personel Polsek Astanaanyar, korban bom bunuh diri mengikuti prosesi pemakaman di Jalan Sukahaji, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung, Rabu (7/12/2022).
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Keluarga jenazah almarhum Aiptu Anumerta Sofyan, personel Polsek Astanaanyar, korban bom bunuh diri mengikuti prosesi pemakaman di Jalan Sukahaji, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung, Rabu (7/12/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelora Indonesia, Mahfudz Siddiq menyebutkan, akar pohon radikalisme yang melahirkan ranting terorisme di Indonesia kini sudah semakin menciut. Mahfudz menyarankan agar gagasan moderasi Islam dan kompatibiltasnya dengan demokrasi terus digemakan untuk melawan terorisme.

"Situasi sekarang menyebabkan terorisme bukan lagi agenda prioritas besar untuk seluruh negara, termasuk Indonesia, yang sedang menghadapi pertarungan pertarungan globalisasi," ujar Mahfudz dalam seri webinar nasional yang digelar Moya Institute, bertajuk 'Radikalisme: Adakah Akarnya di Indonesia?' di Jakarta, Jumat (23/12/2022).

Menurut eks Ketua Komisi I DPR itu, selain demokrasi, gagasan Islam yang bisa berbaur dengan negara juga wajib terus dipromosikan. Upaya itu perlu ditambah dengan niatan  membangun literasi dan persuasi, sehingga tidak melahirkan pertentangan di kalangan penganut agama.

Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komarudin Hidayat menyampaikan, saat ini, semakin banyak ilmuwan, peneliti, dan sejarawan, yang mulai menyadari bahwa penyebab utama aksi radikalisme maupun terorisme lebih dipicu masalah politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya.

Menurut Komarudin, justru agama muncul belakangan dari rasa ketidakpuasan, kemarahan, dan ketidakseimbangan kelompok. Meski harus juga diakui, di kalangan umat beragama ada perbedaan dalam hal radikalisme, karena menyangkut keyakinan.

"Kalau di Indonesia, jika ada kaitannya dengan orang-orang beragama itu ruang lingkupnya juga makin mengecil. Tetapi ketika aparat penegak hukum makin melemah yang seharusnya mempersempit munculnya radikalisme, maka ruang gerak radikalisme merebak kembali," ucap eks Rektor UIN Syarif Hidayatullah itu.

Pemerhati isu-isu strategis dan politik global Prof Imron Cotan menganggap, banyaknya informasi tersebar di ranah maya menciptakan paradoks pilihan.Dalam situasi demikian, arus infomasi  yang tak tersaring membuat orang kebingungan, sehingga mudah terdorong pada ajaran-ajaran radikal (self-radicalization).

"Hukum mencari pasti mendapatkan. Jadi kalau seseorang mencari hukum yang membenarkan radikalisme-terorisme dalam hutan informasi di dunia maya, yang bersangkutan pasti memperolehnya," ucap Imron.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti menyampaikan, radikalisme dan terorisme juga harus dicermati dari fenomena tindakan separatis, seperti kelompok bersenjata di Papua. "Kalau dilihat dari unsur hukum, mereka juga sama dengan radikalisme dan terorisme. Mereka menggunakan kekerasan senjata, melawan hukum, dan menganggu ketertiban umum," ujarnya.

Direktur Moya Institute Hery Sucipto menyebutkan, ancaman radikalisme-terorisme tidak akan pernah hilang seiring dinamika politik global. Fakta-fakta kemunculan radikalisme-terorisme tetap harus mendapat perhatian khusus untuk ditumpas tuntas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement