REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily, mengatakan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) perlu dikaji ulang. Hal ini untuk mempertimbangkan kembali konsep istitha'ah (kemampuan) yang menjadi syarat haji, baik secara fisik (kesehatan) maupun material (biaya haji).
Rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Tahun 1443 H/2022 M per jamaah haji reguler disebut sebesar Rp 86,5 juta. Sementara, biaya yang dibayar langsung jamaah haji, rata-rata sebesar Rp 39,6 juta.
Hal ini sudah meliputi biaya penerbangan, sebagian biaya akomodasi di Makkah dan Madinah, biaya hidup (living cost), dan biaya visa. "Artinya, lebih dari 50 persen biaya perjalanan haji masyarakat, 'disubsidi' dari nilai manfaat optimalisasi keuangan haji yang dilakukan oleh BPKH," kata Ace dalam keterangan yang didapat Republika, Sabtu (17/12).
Dana talangan itu disebut mencapai Rp 46,9 juta per jamaah, atau secara keseluruhan lebih dari Rp 4,7 triliun. Adapun dana tersebut digunakan untuk membayar komponen biaya penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi dan di dalam negeri.
Selain itu, Ace menyebut, jamaah haji lunas tunda pada tahun 1441 H/2020 M juga tidak dibebani tambahan biaya pelunasan BPIH tahun 1443H/2022M. Selisih kurang antara BPIH 1443H/2022M dengan BPIH 1441H/2020M, juga dibebankan ke nilai manfaat keuangan haji.
"DPR dan pemerintah terus berupaya meningkatkan pelayanan kepada jamaah haji. Pada 1443H/2022M misalnya, dilakukan peningkatan volume makan jamaah haji di Makkah dan Madinah dari dua kali per hari menjadi tiga kali per hari," ucapnya.