REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan sejumlah undang-undang selama Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023. Salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disebutnya menjawab seluruh perkembangan hukum yang ada di masyarakat saat ini.
"Negara kita sudah merdeka selama 77 tahun dan tidak kurang dari 59 tahun, tepatnya sejak tahun 1963, sudah melakukan diskusi terhadap perubahan KUHP. RUU KUHP merupakan upaya rekodifikasi terbuka terhadap seluruh ketentuan pidana dan menjawab seluruh perkembangan yang ada di masyarakat saat ini," ujar Ketua DPR Puan Maharani dalam pidatonya di rapat paripurna ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, Kamis (15/12).
KUHP, jelas Puan, merupakan upaya rekodifikasi terbuka terhadap seluruh ketentuan pidana. Menurutnya, menjadi kesadaran bersama bahwa Indonesia yang majemuk akan memiliki perbedaan pandangan terhadap beberapa hal yang diatur di dalamnya.
"DPR dan Pemerintah dalam menjalankan tugas konstitusional membentuk undang-undang, berupaya untuk dapat mencari kesamaan pandangan dari berbagai perbedaan pandangan," ujar Puan.
"Apabila Undang-Undang KUHP belum dapat menyamakan seluruh pandangan rakyat Indonesia yang majemuk, masih terdapat jalan konstitusional untuk mengujinya apakah substansi Undang-Undang KUHP selaras dengan konstitusi negara," sambungnya.
Kendati demikian, pengesahan KUHP menjadi undang-undang merupakan langkah besar bangsa Indonesia dalam melakukan reformasi hukum pidana. Terutama dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis.
"Terdapat tiga tahun masa transisi untuk pemberlakuan Undang-Undang KUHP dan baru akan berlaku efektif pada tahun 2025," ujar Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly berterima kasih kepada DPR yang telah mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang. Menurutnya, pengesahan hari ini sudah melewati perjalanan yang sangat panjang.
Meski diakuinya, RKUHP yang nantinya akan disebut sebagai KUHP tersebut bukan merupakan produk hukum yang sempurna. Tegasnya, payung hukum pidana nasional itu tak akan menjadi alat untuk membungkam kritik dari masyarakat kepada pemerintah.
"Tidak mungkin akomodasi 100 persen, tapi perlu saya catat bahwa pemerintah tidak berkeinginan untuk membungkam kritik. Penyerangan harkat dan martabat tidak berarti kritik," ujar Yasonna usai rapat paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (6/12).
Jika masih ada pihak yang tak menerima pasal-pasal di RKUHP, ia meminta agar penolakan tersebut ditujukan lewat gugatan atau judicial review di MK. Penolakan lewat mekanisme yang benar dinilainya sebagai bentuk peradaban dari sebuah bangsa.
"Jadi kan kita kan semakin beradab, semakin baik, kepatuhan terhadap konstitusi, kepada hukum, maka setelah disahkan mekanisme yang paling pas adalah judicial review," ujar Yasonna.