Ahad 11 Dec 2022 16:08 WIB

LPSK: Perkuat Kehadiran Negara Bagi Korban Pelanggaran HAM Berat

LPSK minta perkuat kehadiran negara bagi korban pelanggaran HAM berat.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Ilustrasi pengaduan kasus HAM
Foto: mgrol101
Ilustrasi pengaduan kasus HAM

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan perlunya memperkuat kehadiran Negara dalam melakukan pemulihan pada korban pelanggaran HAM berat (PHB). Kehadiran negara perlu lebih diperkuat dengan partisipasi Kementerian/Lembaga terkait. 

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo dalam memperingati Hari HAM sedunia yang jatuh setiap 10 Desember. Dalam PP No 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban memberi mandat kepada LPSK untuk melakukan pemulihan korban PHB. 

"Selama 2012-2021 LPSK telah melakukan pemulihan korban PHB melalui 4567 layanan berupa program perlindungan bantuan medis, dan bantuan rehabilitasi psikologis dan psikososial," kata Antonius. 

Para korban PHB tersebut berasal dari peristiwa 1965/66, Penghilangan Paksa 97/98, Tanjung Priok 1984, Talangsari, Jambu Keupok, Simpang KKA dan Rumah Geudong. Pemulihan korban oleh LPSK tidak mensyaratkan adanya putusan pengadilan sebagaimana disyaratkan bagi pemberian kompensasi.

Antonius menyebut bantuan medis diberikan untuk memulihkan kesehatan fisik korban, termasuk melakukan pengurusan dalam hal korban meninggal dunia, rehabilitasi psikososial.

"Ini ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban," ujar Antonius.

Selain itu, Antonius menegaskan langkah pemulihan oleh LPSK belum sebanding dengan tuntutan keadilan korban. Namun, Antonius meyakini langkah LPSK ini memiliki arti penting ketika negara masih mencari solusi yang komprehensif dan dapat diterima semua pihak atas pelanggaran HAM berat masa lalu. 

"Indonesia sudah waktunya membentuk semacam Komisi Reparasi yang bertugas melakukan reparasi korban dengan melibatkan K/L terkait dan dengan tetap memperhatikan mandat UU kepada LPSK untuk melakukan rehabilitasi medis, psikologis dan psikososial serta kompensasi," ucap Antonius. 

Di sisi lain, hingga 2021, bantuan medis merupakan bentuk pemulihan terbanyak yang diakses korban. Hal ini berkorelasi dengan kebutuhan kesehatan dan usia korban yang sudah rentan, khususnya korban Peristiwa 65/66. 

Selanjutnya program rehabilitasi psikososial dilakukan LPSK untuk meningkatkan kualitas hidup korban melalui kerja sama dengan instansi terkait yang berwenang lewat pemenuhan bantuan sandang, pangan, papan, pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan. 

Untuk tujuan ini, LPSK menyasar kerjasama sejumlah pihak, yang meliputi K/L, pemerintah daerah (Pemda), badan usaha milik negara (BUMN), dan lembaga filantropi. Pada 2021 Program Psikososial LPSK berhasil menghimpun dana sebesar Rp.711.163.500 yang dimanfaatkan untuk 324 orang korban tindak pidana, termasuk korban PHB (160 terlindung). 

"Program ini perlu didukung terus oleh berbagai K/L terkait, Pemda, dan BUMN agar semakin menegaskan kehadiran Negara bagi korban PHB," ucap Antonius. 

Antonius juga menyebut program ini sangat dinantikan oleh para korban, utamanya dalam bentuk permodalan usaha dan pengembangannya. LPSK telah membekali para korban PHB dan/atau keluarganya dengan berbagai pelatihan keterampilan sesuai minat korban.

"Misalnya, pelatihan keterampilan membatik, budi daya Anggur, budi daya pertanian, dan servis AC," sebut Antonius.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement