Jumat 09 Dec 2022 13:45 WIB

'Panggung Sandiwara' Pengadilan Kasus HAM Berat Paniai Berdarah

Komnas HAM membeberkan kejanggalan kasus Paniai sejak penyidikan hingga persidangan.

Terdakwa tunggal kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu saat divonis bebas dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar pada Kamis (8/12).
Foto:

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga kecewa dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Makassar yang membebaskan terdakwa Mayor Infanteri (Purnawirawan) Isak Sattu. Komnas HAM semakin kecewa karena majelis hakim pengadilan dalam pertimbangan hukum putusannya tak menyatakan peristiwa yang menewaskan empat dan melukai 21 warga sipil pada 2014 itu, sebagai pelanggaran HAM berat.

"Putusan ini tentu memberikan rasa kecewa dan rasa keprihatinan Komnas HAM, atas ketidakadilan yang dirasakan korban,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, Kamis (8/12/2022).

Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semandawai membeberkan kejanggalan pengusutan kasus Paniai Berdarah. Selama melakukan pemantauan proses hukum, dan penuntasan kasus tersebut, ada empat catatan kritis yang ia sampaikan.

Soal penyidikan, sampai penuntutan, kata Abdul Haris, sudah tampak adanya proses yang tak transparan dan janggal. Di kejaksaan selama proses penyidikan, kata dia, tak sekalipun ada proses pemeriksaan terhadap saksi-saksi korban.

Semakin tampak tak meyakinkan, kata Abdul Haris, atas keputusan jaksa penyidik yang cuma menetapkan satu tersangka dalam kasus tersebut, yakni Isak Sattu. “Ini sudah menimbulkan semacam ketidakpercayaan publik atas penyidikan kasus pelanggaran HAM berat ini, dan sejak awal ada kekhawatiran bahwa perkara ini, tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan,” kata dia.

Dalam proses pembuktian, sampai penuntutan di persidangan, pun dalam catatan Komnas HAM, kata Abdul Haris, tak terjadi pengungkapan yang sesungguhnya. Karena selama persidangan, jaksa tak dapat menghadirkan saksi-saksi korban, maupun keluarga korban untuk diminta kesaksiannya.

“Jadi saksi-saksi sipil, dari korban, maupun keluarga korban ini tidak hadir secara langsung. Hanya dibacakan BAP-nya saja,” ujar dia.

Jaksa penuntut umum (JPU), kata Abdul Haris, malah memberikan ruang partisipasi aktif terhadap saksi-saksi dari kalangan aparat kepolisian dan militer.  Komnas HAM juga mencatat ketidakcermatan jaksa dalam penjeratan sangkaan terhadap terdakwa tunggal.

Terdakwa Isak Sattu, sebagai Perwira Penghubung (Pabung) Komando Militer 17095 Paniai, dijerat dengan sangkaan terkait dengan pertanggungjawaban komando. Hal tersebut, dikatakan Abdul Haris, menutup peluang di pengadilan, untuk mengungkapkan kebenaran, dan menemukan pelaku utama pelanggaran HAM berat di Paniai itu.

"Dan ternyata terbukti, pengadilan menyatakan, terdakwa tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM berat, dan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan, karena tidak terbukti unsur-unsur pertanggungjawaban komando,” terang Abdul Haris.

Padahal, kata dia, jika mengacu rekomendasi Komnas HAM kepada jaksa penyidik, dalam kasus pelenggaran HAM berat Paniai, sedikitnya ada lebih dari empat tersangka yang harus diseret ke pengadilan. Menurut dia, para tersangka tersebut, seharusnya dari komandan militer yang melakukan penyerangan terhadap warga sipil yang mengakibatkan kematian dan luka-luka berat.

"Karena hanya Isak Sattu sebagai perwira penghubung ini yang dijadikan tersangka dan terdakwa, dinilai sebagai penanggung jawab komando. Sementara dia adalah perwira penghubung. Hakim menilai tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam konstruksi pertanggungjawaban komando,” terang Abdul Haris.

Namun begitu kata Abdul Haris, ada dua dari lima hakim, yang menilai tanggungjawab komando terdakwa Isak Sattu sudah terpenuhi. Akan tetapi, dikatakan dia, tiga hakim yang menilai unsur tersebut tak terpenuhi.

Karena itu kata dia, masih ada harapan bagi keadilan, untuk memastikan kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini, dapat berujung pada penghukuman terhadap komandan sebagai pemberi perintah dan pelaku lapangan dalam peristiwa pembunuhan tersebut.

“Karena berdasarkan apa yang dipaparkan oleh majelis hakim dalam proses persidangan ini, sesungguhnya peristiwa pembunuhannya itu sudah terbukti. Yang tidak terbukti hanya Isak Sattu ini, bukanlah komandan yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya,” begitu terang Abdul Haris.

 

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement