REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan program deradikalisasi dalam penanganan terorisme masih perlu terus dievaluasi. Ini disampaikan Ma'ruf lantaran pelaku aksi bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung dilakukan oleh mantan terpidana terorisme.
"Deradikalisasi harus terus dievaluasi, kalau sudah terus terkena radikalisasi tidak mudah mengembalikan paling tidak ada yang bisa berhasil dan ada yang belum jadi memerlukan proses yang panjang," kata Ma'ruf dalam keterangannya kepada wartawan usai menghadiri Mukernas Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2022 di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (8/12).
Ma'ruf menilai perlu ada pembaruan dalam program deradikalisasi, termasuk pengawasan kepada orang yang masuk program deradikalisasi. Menurutnya, usai kejadian bom Bandung menunjukan deradikalisasi kepada mantan narapidana terorisme belum optimal.
"Makanya upaya-upaya metode radikalisasi terus dilakukan pembaruan dan pengawasan harus tetap dilakukan, karena seperti kejadian di Bandung pernah dilakukan deradikalisasi," ujarnya.
Pembaruan deradikalisasi, juga menurut Maruf perlu dengan melakukan cuci otak ulang kepada orang yang terpapar terorisme. Proses cuci otak ulang ini, harus menggunakan landasan-landasan kuat serta dalil tepat untuk mengubah pandangan orang tersebut.
"Dia harus benar-benar, ketika melakukan deradikalisasi membalikkan, mencuci pemikirannya melalui dasar-dasar, landasan-landasan dan kalau perlu dalil-dalil bisa mengubah pandangannya, mem-brainwash kembali, menormalisasi," ujarnya.
Namun demikian, Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini mengatakan, program deradikalisasi bukan hal mudah dan cepat. Karena itu, penanganan terorisme juga diperlukan kontra radikalisasi sejak dini.
"Deradikalisasi itu bukan masalah mudah, kita dalam menanggulangi radikalisme ada proses deradikalisasi maka ada dua langkah, pertama, kontra radikalisasi dilakukan mulai masih SD dilakukan dan melibatkan semua kelembagaan dan instansi dan deradikalisasi," ujarnya.