Rabu 07 Dec 2022 20:30 WIB

KemenPPPA Keberatan Atas Putusan Terhadap Mas Bechi, Rekomendasikan Jaksa Banding

"Namun kami tetap menghormati putusan majelis hakim," kata Margareth.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus dugaan pencabulan terhadap santriwati Moch Subechi Azal Tsani (MSAT) (kedua kanan) berjalan memasuki ruang sidang saat sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jalan Arjuno, Surabaya, Jawa Timur, Senin (10/10/2022). Dalam sidang yang berlangsung tertutup itu Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan hukuman 16 tahun penjara.
Foto: ANTARA/Didik Suhartono
Terdakwa kasus dugaan pencabulan terhadap santriwati Moch Subechi Azal Tsani (MSAT) (kedua kanan) berjalan memasuki ruang sidang saat sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jalan Arjuno, Surabaya, Jawa Timur, Senin (10/10/2022). Dalam sidang yang berlangsung tertutup itu Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan hukuman 16 tahun penjara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) keberatan dengan vonis tujuh tahun terhadap Moch. Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi. Mas Bechi terjerat kasus kekerasan seksual di Pesantren Shiddiqiyah Jombang yang dikelolanya.

Dari hasil sidang, Majelis hakim menyatakan dakwaan pertama tentang perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Sehingga tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang 16 tahun penjara kepada terdakwa tidak bisa diterapkan. 

Baca Juga

"Kami keberatan, namun kami tetap menghormati putusan majelis hakim," kata asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan KemenPPPA, Margareth Robin Korwa dalam keterangannya pada Rabu (7/12/2022). 

Oleh karena itu, KemenPPPA tetap mengusulkan agar JPU mengajukan banding atas vonis tersebut. Tujuannya agar korban yang merupakan santriwati di tempat Mas Bechi bisa mendapatkan keadilan. 

"Kami merekomendasikan agar JPU melakukan banding dan dalam memori bandingnya memperkuat argumentasi dan bukti bukti tentang tentang tindak pidana perkosaan yang dilakukan terdakwa," ujar Margareth. 

Margareth menyayangkan Majelis Hakim yang menyatakan dakwaan kedua tentang pencabulan dengan kekerasan atau disebut juga dengan tindak pidana serangan kehormatan berdasarkan kesusilaan terbukti secara syah dan meyakinkan sebagaimana diatur dalam pasal 289 KUHP. Namun majelis hakim menjatuhkan pidana selama 7 tahun. Padahal ancaman pidana pasal ini adalah 9 tahun.

"Kami memandang harusnya hakim tidak mempertimbangkan alasan yang meringankan karena tindakan terdakwa telah menimbulkan penderitaan yang panjang bagi korban," ujar Margareth. 

Selain itu, Margareth menilai selama proses hukum Mas Bechi telah merendahkan harkat martabat perempuan melalui kuasa hukumnya. Mas Bechi juga dinilai tidak kooperatif ketika ditetapkan sebagai tersangka seolah merendahkan hukum. 

"Seharusnya majelis hakim menghukum terdakwa dengan alasan yang memberatkan," ujar Margareth.

KemenPPPA juga memandang Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini tidak sungguh-sungguh menerapkan Pasal 59 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Padahal dalam Pasal 59 ayat 2 disebutkan bahwa hakim harus merahasiakan identitas korban saat membacakan putusan yang terbuka untuk umum. Namun dalam sidang yang digelar tanggal 17 November 2022, majelis hakim menyebutkan identitas korban. 

"Maka kami menghimbau agar Mahkamah Agung perlu mensosialisasikan ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU TPKS kepada hakim yang memeriksa perkara kekerasan seksual. KemenPPPA siap membantu MA jika diminta melakukan ini karena mandat KemenPPPA untuk menerapkan UU TPKS," ucap Margareth.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis mas Bechi dengan hukuman 7 tahun penjara. Mas Bechi secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 285 KUHP Jo pasal 65 KUHP tentang Pemerkosaan dan Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.

Hakim pun menjelaskan beberapa hal yang meringankan hukuman bagi terdakwa di antaranya karena terdakwa masih muda dan memiliki peluang untuk memperbaiki kesalahannya. Hal yang meringankan lainnya adalah karena terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dan punya anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang, serta belum pernah dihukum. 

Menanggapi putusan tersebut, baik jaksa penuntut umum maupun pihak terdakwa sama-sama menyatakan pikir-pikir apakah akan mengambil langkah hukum selanjutnya atau tidak. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement